Andai Ke Kairo itu Nyata





     Namaku Zalfa, seorang gadis biasa yang punya mimpi bisa berkunjung ke Kairo, Mesir. Menginjakkan kedua kakiku di tandusnya gurun dan bersekolah di Universitas tertua di dunia.
Terkadang aku selalu ingin terlelap, memimpikan segala hal tentang negara yang saat ini tengah berperang. Bahkan sekolah selalu menjadi tempatku melamunkan segala hal tentang Kairo, dan Universitas Al-Azhar.

Banyak teman-teman yang bertanya, mengapa harus Kairo? Kenapa harus Al-Azhar? Kenapa bukan Harvard yang notabenenya lebih terkenal dan lebih indah dibadingkan dengan Al-Azhar yang tak punya nilai estetika sama sekali. Tak ada pemandangan yang indah disana. Hanya hamparan gurun pasir yang tandus dengan tiupan angin panas, di tambah tingkat keamannya yang kurang menjamin keselamatan. Tapi, entah mengapa hatiku telah kulabuhkan disana, hatiku telah memilihnya untuk dijadikan mimpi dan entah kapan saat itu tiba mimpi itu kan jadi kenyataan. INSYA ALLAH.

“Zalfa, woy! Kok ngelamun sih? Pasti Kairo lagi.” Seketika lamunanku pecah ketika suara tersebut terngiang jelas di telingaku.
“Ha? Enggak juga kok, Cuma dikit.” Jawabku sambil mengucek-ngucek kedua mataku.
“Kekantin yuk, laper nih” Ujar Kina. 
“Ayo, kamu yang teraktir yah!” balasku sambil berlari meninggalkannya.
“Woy, Zalfa! Tungguin dong” Panggilnya. 
Aku tak memperdulikan suara Kina, dan semua hal yang Ia katakan. Aku terus berlari sambari tertawa melihat Kina berlari seperti orang gila yang sedang mengejar anak orang.

Karena terlalu Asyik tertawa dan tak memperhatikan apa yang ada di hadapanku, tanpa ku sadari, aku menabrak seorang yang begitu asing bagiku. Dia tak berpakaian layaknya siswa di sekolah ini, dia pun tak pernah kulihat berkeliaran di sekitar pekarangan sekolah. Baru hari ini aku melihatnya berada disini.

“Eh, maaf yah, aku tidak sengaja. Sekali lagi maaf,” ujarku sambil membantunya membereskan map-map yang dibawanya. Tampak dari cara berpakaiannya dia anak pondok pesantren.
“Tidak apa-apa” Ujarnya seraya tersenyum kepadaku.
Yah, Allah senyumnya itu loh, membuatku terpaku beberapa saat. Dia bagai pangeran yang selalu hadir di lamunanku mengenai Kairo dan Al-Azhar. Dari caranya berpakaian, dari tutur katanya yang lembut dan menyejukkan hati, juga mata teduh itu yang begitu mempesona. Tampaknya aku jatuh cinta. “Masya Allah” hatiku kembali bersua.
“Hey, kamu tidak apa-apa?” Ujarnya seraya menepuk bahuku. 
“Ah, tidak!” dengan wajah yang memerah dan tingkah yang tak lagi karuan aku kemudian berlari meninggalkannya, mempercepat lajuku untuk bisa sejauh mungkin darinya.

Aku tak ingin pipiku yang merah tanda malu ini terlihat olehnya. Dengan Nafas yang masih terengah-engah dan pipi yang masih memerah, kutemui Kina, yang saat itu tengah menikmati semangkuk bakso yang di pesannya di Ibu kantin.

“Na, tau enggak tadi tuh aku ketemuu... ketemu,” baru saja ingin kulanjutkan ucapanku tiba-tiba Kina memasukkan satu bakso besar kemulutku.
“Diam!aku mau makan dulu, aku capek kejar-kejar kamu yang selalu ilang-ilang! Tau’ enggak, aku sampai jatuh, luka-luka pula hanya karena mencarimu,” ujarnya dengan wajah yang begitu di tekuk.
“Maafin yah, aku enggak bermaksud buat kamu capek. Sumpah deh, tadi tuh cuma bercanda doang,” kataku sambil menyesali apa yang telah kulakukan.
Tampak Kina tak berkata apa-apa, dia tetap menyantap bakso dihadapannya. Dan menatap kosong kedepan. Entah, apa yang dipikirkannya hingga untuk menatapku saja rasanya begitu sulit.
”Kina, maafin dong, tadi itu cuma bercandaan ajah, jangan ngambek dong.” Ujarku seraya tersenyum kepadanya. Tanpa  menanggapi yang kukatakan dia bangkit dari tempat duduknya dan berlalu pergi meninggalkanku sendirian. Yah, sendirian dengan rasa bersalah yang masih menghinggapi hatiku.
Dengan wajah yang kecewa, akupun beranjak dari kantin, mencoba suasana baru, mencoba mencari angin segar, untuk merefresh ulang fikiran yang sedari tadi dipenuhi bayang-bayang lelaki tadi yang tak sengaja ku tabrak tubuhnya hingga barang bawaanya jatuh, dan berserakan dilantai. Juga rasa bersalah akan sikapku mengerjai Kina.

Dengan langkah lemah, aku pun berjalan ke kelas, mencoba kembali mencari celah untuk dimaafkan oleh Kina. Yang memang  sih, orangnya susah diluluhkan hatinya. Tapi, selama aku bersahabat dengannya tak pernah selama ini dia tak mencariku, tak pernah selama ini dia tak menegur dan menyapaku bahkan menatapku pun tidak. Dia hanya asyik dengan novel yang ada di tangannya. Membacanya dengan mimik yang begitu serius. Tak pernah kulihat Kina semarah dan secuek ini. Yah, Allah! Maafkan Aku. 

Dengan langkah pelan kuhampiri dia, menatapnya dengan penuh rasa cemas dan kini aku tepat berada dihapannya. Namun, tak ada satu mata pun yang jua kembali menatapku. Kuberanikan diriku menyapanya dan mengungkapkan segala penyesalanku.
“Kina, aku mau bicara!penting,” ujarku sambil menarik tangannya.
 “Apa-apan sih kamu, aku sibuk,” katanya seraya melepaskan tangannya dari tanganku.
“Kina! Sebesar itukah salah yang aku lakukan? Begitu sulitkah kamu memaafkanku, aku benar-benar tidak bermaksud apa-apa semuanya hanya sebatas candaan. Yah hanya candaan.” Ujarku seraya memukul meja yang ada dihadapanku.
“hahaha. . . salahmu? Pikir saja sendiri. Aku muak berteman denganmu, aku muak dengan hari-hari yang kulalui karena kau ada. Betul-betul muak! Kau terlalu kekanak-kanakan Za, kau sudah lupa batasan candaan itu seperti apa.” Ujarnya membanting novelnya dan pergi meninggalkanku sendirian.

Dan rasa penyesalan itu kembali menyerangku, kembali menyita seluruh energy yang kupunnya. Dan sikapku kembali membuatku harus kehilangan sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang sulit untuk kuraih kembali. Sebuah persahabatan, sebuah teman yang  lebih dari sekedar teman yang selalu ada, baik disaat air mataku menetes, maupun disaat bibirku tersenyum bahagia. Seseorang yang telah mendampingiku dalam berbagai macam momen, dan seseorang yang telah banyak memperkenalkanku tentang Kairo dan Al-Azhar. 

Tak terasa pipiku basah oleh air mata. Kina, membuatku merasakan sebuah perasaan yang benar-benar perih, tak mampu kubayangkan hari-hariku tanpa celotehnya, tanpa semua ceritanya tentang sepupunya yang bersekolah di Kairo, dan tentang pendapatnya mengenai aku dan mimpiku. Semuanya terlalu indah untuk kujadikan kenangan. Terlalu indah jika hanya dibingkai menjadi sebuah masa lalu. Dengan wajah yang masih basah kuraih tasku dan berjalan pulang. Mencoba merubah diri, mencoba menjadi Zalfa yang Kina mau.
                                                                               ~
Hari demi hari berlalu,minggu berganti minggu tak lagi ada Kina di sampingku, Dia menutup diri dariku, bergaul hanya dengan buku, buku dan buku. Aku bosan, lelah, dan muak melihatnya berkutat seharian dengan setiap kata demi kata yang tertulis di setiap lembar demi lembar dari buku yang begitu membosankan. Tiba-tiba fikiranku kembali menyeretku pada mimpiku dulu, mimpi yang kini tak lagi pernah kuulang, tak lagi pernah kulamunankan dan lagi pernah hadir didalam setiap tidur malamku.

Yang aku fikirkan sekarang bagaimana persahabatanku dan Kina dapat kembali terjalin, dapat kembali terbina dan dapat kembali indah seperti dulu, sebelum pemikiran bodoh itu membuatku harus menderita dan tersiksa seperti sekarang ini. Kina, andai saja kau tahu hidupku sepi tanpamu, hidupku hampa tanpa celotehmu dan hidupku tak semenarik dulu saat kau ada menemaniku menghabiskan hari dan menatap indahnya langit sore. Sekarang, aku hanya dapat menatapmu dari kejauhan, tersenyum kecil saat kenangan-kenangan indah kita berlalu di otakku. Kina, aku rindu, rindu kamu dan semuanya tentang kita.

Tiba-tiba di tengah lamunanku seseorang menepuk bahuku dengan lembut. Akupun menoleh mencoba menangkap pemilik tangan yang menepuk bahuku.
“Hay, kamu cewek yang dulu kan yang lari kayak orang di kejar setan”. Ujar sesosok tubuh jangkung di hadapanku.
“Ha? Iya! Kamu sekolah disini?” tanyaku.
“Iya, aku murid baru disini. Sepupunya Kina”. Jawabnya. Tak lagi mampu kuberkata apa-apa, tubuhku terpaku, serasa ada sesuatu yang menghantam dadaku, fikiranku mencoba mencari kembali potongan-potongan cerita Kina tentang Al-Azhar. Apakah sosok dihadapanku ini adalah lelaki yang selalu Kina ceritakan kepadaku. Entahlah!
“Hey, kok bengong? Kinanya mana? Kan katanya kalian sering bareng. Kok sekarang enggak ada? Kemana dia?” Tanya lelaki tersebut.
“Ah? Kina? Dia sedang marah kepadaku. Katanya aku terlalu kekanak-kanakan yang lupa batasan Antara bercanda dan serius”. Jawabku Sambil berjalan meninggalkannya.
Kukira dia akan tetap berada disana. Tak memperdulikan apa yng kukatakan. Namun, ternyata aku salah. Kulihat dia berlari kearahku, mencoba memanggilku namun, dia tak tahu namaku sehingga kata “hey” tak kunjung hilang dari setiap kalimat yang dia teriakkan.
“Hey, tunggu dulu.” Terdengar suara itu lagi! Tak kuhiraukan, tetap saja kupercepat langkahku mencoba mencari tempat yang pas untuk menumpahkan segalanya.

Air mata ini tak mampu kutahan lebih lama lagi, semua orang memandangiku dengan berbagai mimik. Bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana wajahku saat ini, seburuk itukah? Sampai semuanya memandangku dengan penuh rasa kasihan. Kuseka air mata yang kian makin deras berjatuhan. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang tanganku dan menarikku kesebuah taman di belakang sekolah.

“Kamu, apa-apa sih Fa, enggak malu apa di liatin anak satu sekolahan?” Ujar Kina membentakku, dengan penuh amarah. Dengan tangis yang masih saja tumpah aku mencoba mengukir senyum. Memandangi Kina dengan penuh kerinduan.
“Kina, tidak bisakah kita seperti dulu lagi? Aku benar-benar kehilanganmu, kehilangan salah satu semangatku untuk tetap tersenyum”. Ujarku padanya.
“Zalfa, aku pun merindukanmu, semuanya, bahkan mimpimu tentang Kairo dan Al-Azhar. Namun, hatiku masih belum siap menerimamu kembali. Maafkan aku” Jawabnya dengan diiringi air mata.
“Kina, aku mohon! Ada yang hilang dari diriku, ada yang berbeda, ada rasa yang membuatku kesakitan berkali-kali. Semuanya hanya karena aku benar-benar merasakan arti kehilangan. Yah, kehilangan harta paling berharga yang tak mampu ternilai dengan  materi. Kau, lebih berharga dari nyawaku sekalipun.” Ujarku kepadanya. Tampak dia mulai menyeka air matanya mencoba menahan gejolak di hatinya.

“Zalfa, maafkan aku!aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka di hatiku. Jika kau benar-benar takut kehilanganku dan menginginkanku hadir kembali dihidupmu. Maka jangan pergi, biarpun itu adalah impianmu yang tertinggi”. Ujarnya padaku.
“Baiklah, aku akan menunggumu, menunjukkan kepadamu kalau aku benar-benar sahabat yang kau mau”. Jawabku padany­­a.
Kina lalu memelukku, menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Sudah lama aku tak merasakan pelukan hangatnya, sudah lama aku tak pernah menyentuh tubuhnya dan sudah lama aku tak pernah merasakan air matanya membasahasi jilbabku, dan Aku benar-benar mencintai Kina selayaknya aku mencintai diriku sendiri. Tiba-tiba ponselku berdering, menandakan ada pesan singkat yang masuk. Menyadari hal tersebut Kina melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkanku dengan sebuah senyuman manis dibibirnya. Dan itu yang benar-benar kurindukan.
Assalamu alaikum. Wr.Wb
Kepada Saudari:
Selamat, anda lulus berkas dalam pendaftran di Universitas
Al-Azhar jurusan sastra Arab. Anda diharapkan segera melakukan pendafran ulang.
Terima Kasih
Departemen Pendidikan RI

 Ha? Lulus! di Al-Azhar Mesir? Masya Allah, Allah Akbar, Lailahaillalah! Terima kasih yah Allah, impianku yang selama ini kuimpi-impikan, yang selama ini kubangga-banggakan akhirnya tinggal selangkah lagi kan kuraih. Tinggal selangkah lagi segala agan dan fantasiku kan jadi nyata. Dan nyata di depan mataku sendiri. Senyumku begitu merekah. Bagai bunga  yang baru saja bermekaran.

Ingin sekali kuceritakan ini kepada Kina. Membagi bahagia bersamanya, Namun, keadaan memaksaku untuk berbahagia sendiri. Yah, tanpa dia yang selalu punya banyak cerita tentang Kairo dan Al-Azhar. Cepat-cepat kubalas pesan singkat tersebut dan meraih laptop yang berada didala tasku dan mencoba membuka kembali situs milik Depertemen Pendidikan RI. Dan benar sekali, namaku ada di dalam daftar calon mahasiswa Indonesia yang lulus di sana. Tak lagi mampu kubendung bahagia yang kurasa.

Kini aku kembali meneteskan air mata. Namun, bukan air mata kekecewaan melainkan air mata kebahagiaan. Dan pendaftaran ulang akan di laksanakan di Kairo, sesudah UN di Indonesia menandakan bahwa aku harus meninggalkan Indonesia, meninggalkan sekolah, orang tua dan sahabaat. Ha? Sahabat? Astagfirullahx tiba-tiba saja aku teringat janjiku, janjiku kepada Kina.
Yah, Allah! Apa yang harus kulakukan. Dan sepertinya semuanya harus kulupakan sejenak, memfokuskan fikiran ke UN yang 3 hari lagi kan dilaksanakan.

Dan tepat sehari UN telah berlalu, kini pesan singkat dari Departemen Pendidikan RI kembali hadir di layar ponselku. Pesannya menyuruhku bersiap-siap,karena 3 hari lagi keberangkatan ke Mesir akan dilaksanakan. Dan aku dilema! Kulemparkan ponsel itu ke Kasur dan mencoba memutuskan apa yang akan kupilih.
Mimpiku? Atau persahabatanku? Astaga, ini pilihan yang sulit dimana mimpiku kan jadi nyata akan tetapi, di sisi lain aku telah berjanji menunggu Kina. Menunggunya kembali di kehidupanku. Dan memilih salah satu dari dua pilihan itu amat sulit, sulit sekali. Haruskah persahabatan yang sudah terbina hampir 3 Tahun, kupertaruhkan hanya dengan mimpi yang baru hampir setahun ku idam-idamkan? Yah Allah! Aku tak tau dimana hatiku kan berlabuh. Kini, kucoba berfikir akan segala kemungkinan-semungkin yang mungkin akan terjadi jika aku memilih. Dan setelah hampir seharian memikirkan pilihan, akhirnya aku memilih Kina. Meninggalkan mimpiku yang selangkah lagi kan jadi nyata. Mungkin terdengar bodoh, tapi inilah pilihanku.
Aku ikhlas dengan segala kemungkinan yang akan kuterima termasuk mengubur dalam-dalam mimpiku tentang Kairo, dan Al-Azhar. Dan semuanya kulakukan karena Kina, yah hanya untuk Kina. Separuh dari nafas hidupku, pengukir senyum di bibirku dan penyeka setiap tetesan-tetesan air mata yang membasahi pipiku. Aku menyayanginya, seperti aku menyayangi diriku sendiri, bahkan lebih dari itu. Kuraih ponselku dan membalas pesan dari Departemen Pendidikan RI.

Maaf, Saya menyatakan mengundurkan diri, karena adanya sebuah urusan yang penting dan tidak bisa saya tinggalkan. Sekali lagi maaf.

Terima Kasih
Sitti Zalfa Aisyah


Dan pada akhirnya, mimpiku hanya angan yang mungkin tak lagi pernah memberiku kesempatan kedua. Yah, kesempatan untuk melanjutkan study kesana. Namun, kuterima dengan lapang dada. Ini keputusanku, ini pilihanku dan apapun yang terjadi itu resiko yang harus kuterima.
Hari ini seharusnya aku telah pergi meninggalkan semuanya, mewujudkan mimpiku. Namun, keputusanku , membuatku harus menguburnya dalam-dalam.
Aku hanya mampu tersenyum membayangkan diriku, ada disana. Di Universitas Al-Azhar. Kairo, Mesir. Menuntut ilmu dan berjalan di tandusnya gurun.
“Zalfa”. Terdengar seseorang membuka pintu kamarku dan berlari memelukku. Seketika air mataku jatuh, pelan, sedang, dan semakin deras.
“Ini benar-benar kamu Kina?” tanyaku.
“Iya, ini aku. Aku mencarimu di bandara, memastikan aku tidak terlambat untuk menemuimu dan mengucapkan selamat akan mimpimu yang sudah menjadi nyata. Selamat Fa! Aku bangga padamu”. Ujarnya seraya menghapus air mata dipipiku.
 “Aku, membatalkannya Na! Kairo, memang hanya mimpiku, yang tak untuk jadi nyata.” Kataku padanya.
“Apa? Kenapa Fa? Bukannya itu keinginanmu? Bukankah itu impianmu? Dan saat semuanya sudah selangkah di hadapanmu kamu malah mundur dan membuat mimpimu semakin jauh, atau saja tidak lagi mungkin untuk kau raih”. Ujarnya, dengan menatapku tajam, bahkan tanpa kedipan sama sekali.
“Karena janjiku padamu. Aku lebih tak ingin kehilanganmu. Persahabatan kita lebih berharga dari mimpiku. Biarlah kairo menjadi mimpiku yang terindah. Dan persahabatan kita menjadi kenyataanku yang terindah. Kina? Jangan pernah tinggalkan aku lagi yah?” tanyaku padanya.
“Fa, maafin aku, karena aku kamu kehilangan impianmu, maafkan aku yang terlalu egois selama ini, maafkan aku yang terlalu tega kepadamu, maafkan aku, maafkan aku!sekali lagi maaf Fa!” Ujarnya seraya kembali memelukku dan menangis di pelukanku.
“Ini keputusanku Na, ini bukan salahmu. Kamu kembali menjadi sahabatku aku sudah sangat bahagia”. Ujarku seraya tersenyum padanya.
“Zalfa, aku beruntung punya kamu, aku beruntung dan aku tak mungkin pernah meninggalkanmu lagi. Aku sayang kamu Fa! Kita kayak dulu lagi yah. Bareng-bareng lagi!”. Katanya sambil menatapku dengan sebuah senyuman.
“Iya,” jawabku padanya.

Dan pada akhirnya, Kina kembali menjadi sahabatku, menjadi bagian terpenting dari hidupku, menjadi pendamping setiaku dalam melewati berbagai macam momen. Bagiku persahabatan lebih dari segalanya, bagiku persahabatan mengajariku untuk ikhlas ketika impian indahku tak lagi mampu kuraih bahkan ketika impian itu sudah selangkah di hadapanku. Dan Al-azhar. Kairo, Mesir mungkin memang hanya mimpi, yah hanya mimpi yang selalu hadir menghiasi tidur malamku.

5 komentar

Ceritanya menarik :)

Reply

Persahabatan...mengingatkanku akan sahabat sewaktu SD, SMP, SMA, hingga PT...
Apa kabar, kawan? Aku rindu masa-masa itu...

Reply

cie, flashbackki kak Taufan :D

Reply

Post a Comment