Sumber: http://4.bp.blogspot.com/ |
Pagi ini sangat cerah, tampak sang mentari mulai melukiskan senyum termanisnya untuk bumi yang bagaikan seseorang yang sedang dilanda bunga-bunga asmara.
Tampak ayah sudah siap dengan pakaian kerjanya. Dari raut wajahnya tampak masih tersisa rasa lelah dari lemburnya semalam. Terkadang Aku merasa kasihan melihat ayah yang harus bekerja keras demi Aku, ibu dan adikku. Namun, terkadang akupun rindu suasana rumah yang ramai dan utuh.
“Ayah, tidak sarapan dulu?” ujarku menatap matanya yang membengkak dan memerah.
“Maaf, sayang. Ayah ada rapat sebentar lagi. Mungkin besok atau lain kali yah!” ujarnya seraya tersenyum menatapku.
“Ibu, tidak sarapan dulu?”
“Maaf sayang. Ibu ada rapat dengan pelanggan butik. Lain kali yah sayang!” Ujarnya dengan sebuah senyuman.
Ada rasa kecewa saat sarapan hanya ada aku dan Rio adikku. Aku selalu berharap ayah ada disini memimpin doa sebelum makan dan memimpin doa sesudah makan. Aku berharap ibu pun ada disini duduk berdampingan dengan ayah. Namun, harapan itu hanya sebatas asa. Ayah dan ibu selalu sibuk. Sibuk dengan urusan dan kepentingannya masing-masing.
“Lani, jangan melamun terus. Kesekolah sana nanti telat.”
“hmm..iya Bi’. Lani pergi dulu yah.Assalamu’Alaikum.”Ujarku seraya bergegas menuju sekolah.
Kupercepat langkahku memasuki mobil. Tampak Pak Didin supir pribadiku mulai menyalakan mobil. Setelah beberapa menit berlalu sampailah Aku di sekolah. Pak Didin mulai membuka pintu mobilnya seraya tersenyum padaku.
“Makasih,Pak” kataku tersenyum kepadanya.
“iya,sama-sama Non Lani” ujarnya tersenyum padaku.
<>
“Lani?”suara seseorang memanggilku dari kejauhan
“iya,ada apa?” kataku sambil menghampirinya.
“Mana ayahmu? hari inikan semua ayah siswa di wajibkan datang untuk membicarakan tentang sekolah”
“Ha?iya yah! aku lupa memberitahu ayahku. Jadi,bagaimana ini?” perasaan bingung mulai melandaku.
“kamu telepon ayahmu saja. Pinjam HPnya Pak Jono.” Ujarnya memberiku saran.
“ide yang bagus.tapi, Aku tidak akan mengganggu Ayah?entahlah.” Hatiku membatin.
“Dinah”
“Iya ada apa Lani?”
“Aku, takut menggaggu Ayahku. Sebelum kekantor dia sempat berkata kalau dia akan rapat. Aku takut rapatnya batal karenaku.” Kataku dengan nada sedih.
“Yah,sudah Ibumu saja” Katanya seraya tersenyum menatapku”.
Dinah memang sahabatku yang sangat baik. dia tidak pernah marah, dialah satu-satunya orang yang tak pernah meninggalkanku saatku terpuruk dan dia adalah salah satu pembangkit semangatku dalam menjalani hidup. karenanya aku merasa tak sendiri, karenanya aku merasa punya sesuatu yang bisa menepis rasa sepiku.
“Ibuku? Kamu tahu sendirikan Ibuku sibuk mengurus bisnisnya.mana ada waktu untuk aku” mataku kini mulai berkaca-kaca tampak tetesan-tetesan bening hampir berjatuhan seiring dengan berakhirnya ucapanku.
“Yah, sudah Ayahku saja yang mewakilimu” Ujarnya seraya memelukku dan meyakinkanku kalau aku tidak sendiri. Ada dia dan keluarganya yang selalu punya waktu untukku.
“Makasih Dinah, kamu memang sahabat terbaikku.” Kataku sambil mencubit pipinya yang imut
Terkadang Aku iri dengan Dinah dia tidak kaya, dia tak punya mobil mewah, sopir, pembantu, rumah yang besar, dan aksesoris mahal sepertiku. Namun, hidupnya bahagia. Hidupnya penuh dengan bunga-bunga kebersamaan. Mengapa aku tak bisa seperti Dinah? Ayahnya, Ibunya selalu punya waktu untuk Dinah, dan Hal itulah yang saat ini tak pernah kudapatkan dari kehidupanku. Sungguh menyedihkan.
Tengggg..,Tengggg...,
Bel pertanda pulang pun telah berbunyi dan menyadarkanku dari lamunan akan kehidupan Dinah. Kubereskan alat tulis menulisku dan mulai melangkah keluar dari ruangan kelas. Tampak Pak Didin sudah brdiri di gerbang sekolah menungguku.
“silahkan Non masuk” ujarnya seraya membuka pintu mobil.
”iya,Pak makasih”
Sepanjang perjalanan yang kuharapkan adalah sesampainya dirumah ada Ayah dan Ibu. Aku kangen mereka kangen sesuatu yang biasa disebut kebersamaaan. “Ayah, Ibu tidakkah kalian berfikir tentang perasaanku, hatiku yang merindukan kehangatan sebuah kebersamaan layaknya sebuah keluarga yang utuh.” Hatiku kembali membatin. Tak terasa tetesan hangat mengalir mengikuti lekuk-lekuk wajahku, tak terasa air mataku kembali menetes untuk sebuah harapan yang kian hari kian hanya menjadi asa.
“Non,sudah sampai,silahkan turun”
“Makasih Pak.”
Masih dengan air mata yang mengalir, ku berlari memasuki rumah, menaiki setiap anak tangga dan masuki kamarku, menutupnya dan membuang badanku di atas kasur dan kembali menangis.
“Ini tidak adil, ini tidak selayaknya dialami oleh anak seusiaku. Aku masih butuh mereka, masih butuh perhatian, kasih sayang dan cinta. Tapi, mengapa? mereka tak pernah ada disini. Bahkan kabarku sajaa tak pernah mereka tanyakan apa mungkin aku tidak penting. Apakah mungkin aku hanyalah manusia yang tak sengaja Ibuku lahirkan dan tak layak mendapatkan cinta. Apakah iyya? apakah mungkin? Sudahlah, mungkin memang aku tak beararti apa-apa, pekerjaan mereka lebih berharga dariku” Hatiku kembali membatin mencari sebuah jawaban dari teka-teki kehidupanku sendiri.
Terdengar suara berisik dari luar, kucoba berlari kearah sember suara berharap Ayah dan Ibu ada disana dengan banyak waktunya untuk sekedar bercanda tawa, mengukir kenangan-kenangan bahagia disepanjang dinding di rumah bak Istana nan megah ini.
Kakiku terhenti, badanku terpaku, terdiam, serasa jantungku berhenti berdetak. Saat menyaksikan pemandangan dihadapanku. Di hadapanku berserakan pecahan-pecahan keramik, sofa yang tak tertata dan di atas meja kutemukan sebuah kertas bertuliskan pengajuan perceraian. Mataku terpaku membaca setiap kata demi kata dari surat tersebut tak terasa tetesan hangat kembali membasahi pipiku, hatiku serasa hancur bekeping-keping, ingin kuberteriak sekencang-kencangnya meluapkan segala rasa kecewa, marah dan sedih yang membelenggu di hati. Namun, hati kecilku berkata jangan. Ingin ku terbebas dari sangkar emas ini, ingin ku pergi mencari kehidupan lain diluar sana. Kehidupan yang menawarkan kebahagiaan, kehidupan yang sederhana namun dibumbui keutuhan sebuah keluarga.
Kuberlari pergi, pergi meninggalkan semuanya. Tak kutau kemana kaki ini kan kulangkahkan, tak kutau dimana raga ini kan terlelap jikalau hari telah gelap gulita, tak kutau kemana arahku, karena fikiranku kacau, hatiku resah, yang kubutuhkan sekarang hanyalah ketenangan.
Hujan turun dengan derasnya mengiringi setiap langkah kakiku, langit seakan ikut merasakan apa yang kurasa. Hidupku kini bagaikan perahu di tengah lautan yang terombang ambing oleh ombak, perahu yang tak lagi mampu melakukan apapun selain menunggu sebuah keajaiban turun dari langit.
“Aku siapa? Aku hanyalah manusia beruntung yang terlahir dari rahim seseorang wanita yang sangat mulia, wanita yang kini telah meninggalkanku. Masih kuingat wajahnya, masih kuingat bagaimana dia merawatku hingga sampai diusia 15 tahun, bagaimana dia mengobati saatku sakit dan terluka. Namun, kini? Dia tak ada mengobati luka dihatiku. Sakit sekali. Sakittttt!!! “ Ujarku dalam hati
Kepalaku tiba-tiba pusing, pengheliatanku buram dan badanku serasa rapuh. Kakiku tak mampu lagi bertahan lebih lama. Kuterjatuh ditengah guyuran hujan tak ada satu orangpun yang kusaksikan hingga akupun taksadarkan diri.
“Dimana ini?”
“kamu ada dirumah Tante, Nak”
“Tante siapa? Kenapa aku bisa berada disini? Sebenarnya aku kenapa? Mana Ayah dan Ibuku?”
“suami Tante tadi menemukanku pingsan d jalan. jadi, Om bawa kerumah. Ayah, Ibumu? Mana Tante tau. Istirahatlah dulu badanmu masih panas” Ujarnya dengan ramah bahkan dengan sebuah senyuman
“Tante!”
“iya,nak?”
“makasih yah?” Ujarku dengan melemparkan senyum kepadanya. Dia hanya tersenyum. seraya mengambilkan segelas air putih untukku.
Rumah Om dan tente ini sangatlah berbeda dengan rumahku, rumahnya amatlah sederhana. Namun, udaranya sejuk. Seminggu berlalu, ada banyak kebahagiaan disini. Hal yang tak pernah kudapatkan dari rumahku yaitu kebersamaan yang utuh. Tak ada cekcok, Om selalu memimpin doa saat makan dan Tante selalu ada, duduk berdampingan dengan Om. Sungguh ingin sekali kudapati hal yang sama pada keluargaku sendiri. Namun, rasanya semuanya tak mungkin.
“Lani,sini deh” Tante Mia memanggilku
“Iya, ada apa tante?” Ujarku
“itu di berita orang hilang bukan kamu yah? Kayak mirip?”
“Ha?mana tante?Ohiya! itu Lani” Ujarku.
Aku tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Disana ada Ibuku dengan air matanya yang tumpah, disana ada Ayahku dengan matanya yang bengkak dan wajahnya yang seakan kebingungan.
“Lani, pulanglah Nak! Orang tuamu mencarimu, Dia merasa kehilanganmu” Ujar Om Ridwan
“Lani tidak mau pulang Om, sebelum orangtua lani mau rujuk lagi” Ujarku dengan diiringi tetesan air mata
“mungkin saja, mereka sudah rujuk dan bersama-sama mencarimu. Biar Om telepon yah?! Om, bukan mengusirmu tapi, keluargmu mengkhawatirkanmu, teman-temanmu mencarimu dan sekolah menunggumu sayang” Ujar Om Ridwan
“Terserah Om” Lidahku kaku tak tau apa yang akan kuucapkan.
Om Ridwan lalu menelfon Ayah. Jantungku serasa lebih cepat berdetak saat seseorang dari mengetuk pintu rumah. Dan ternyata itu Ayah dan Ibu. Betapa indah senyum mereka, betapa bahagianya mereka menyaksikanku berada di hadapan mereka, merek kemudian berlari kearahku dan memelukku, erat sekali menangis tersedu-sedu dipelukanku, akupun ikut menangis.
“Nak, maafkan Ibu yah! Ibu tak pernah ada untukmu bahkan dalam kondisi terburukmu” Ujar Ibu dengan diiringi air mata.
“Maafkan Ayah juga nak yang tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan” Ungkap Ayah.
“Ayah, Ibu bolehkah Lani meminta satu saja permintaan?” Jawabku
“Apa saja Nak, asal itu bisa memuatmu kembali kepelukan kami” Ujar Ayah
“Bisahkah aku merasakan kehangatan sebuah keluarga? bisakah aku merasakan indahnya mengukir kisah dan kenangan Indah di rumah tercinta kita? Bisahkan aku merasakan makan bersama Ayah dan Ibu? Ayah memimpin do’a dan Ibu duduk berdampingan dengan Ayah. Itu harapanku Ayah, dalam setiap sujudku,dalam setiap patahan-patahan do’a , aku selalu berharap agar keluargaku utuh, utuh Ayah,UTUH!” tak lagi mampu ku bendung semua rasa yang tertahan di hati. Kulihat orangtuaku terpaku menyaksikanku serapuh ini. Menyaksikanku berlinang air mata. Kulihat rasa iba dimata mereka, kulihat ada sebuah cinta, ada sebuah rasa yang kini mulai tumbuh.
“Bangunlah Nak, Ayah pastikan harapan Lani akan jadi kenyataan, iyakan Bu’?” Ujar Ayah berusaha membangunkanku dari keterpurukan
“Iya, Sayang apapun demi kamu. Kamu bahagia, Ibu dan Ayahpun bahagia. Pulangah, Dinah mencarimu” ujar Ibu
“Makasih, Ayah! Makasih Ibu. Jadi Ayah dan Ibu tidak akan pernah cerai kan?”
“Tidak akan pernah sayang. Selama nafas masih behembus, selama bibir ini masih bisa tersenyum, selama mata ini masih bisa melihatmu bahagia hal itu tak mungkin terjadi. Itu hanyalah sebuah keputusan Bodoh yang pernah Ayah lakukan” Ungkap Ayah kepadaku.
“Lani, Sayang Ayah dan Ibu jangan pernah pergi lama lagi yah. Lani mash butuh Ayah dan Ibu”
“Pasti Sayang” Ujar mereka berdua seraya kembali memelukku.
Sejak saat itulah Aku mengerti arti dari sebuah keluarga. Keluarga dmana ada Ayah, Ibu da Adikku, yang merupakan sebuah anungrah terindah yang telah Allah kirimkan dihidupku, dimana dengannnyalah kan kuukir kisahku, kan kuukir bahagiaku dan dengannyalah segala mimpi-mimpi yang dulunya sering menghantui tidurku kini, kan jadi kenyataan, kenyataan yang lebih indah dari apa yang kubayangkan. Insya Allah. :)
Post a Comment