cerita dibawah ini terinspirasi dari kata-kata diatas. Yang menjadi judul blog Saya.
“Apa yang sedang Kamu tulis Intan?” Suara Ryan tiba-tiba mengagetkanku.
“ha? Enggak ada apa-apa kok!”
Ujarku tersenyum padanya
“Oh. Kiraian ada apaan.” Dengan
senyumnya yang manis
Hampir saja Ryan mendapatiku
menuliskan namanya, hampir saja rasa yang selama ini kusembunyikan diketahui
olehnya. Satu yang tak ku inginkan yaitu, persahabatanku hancur oleh rasa yang
terlarang. Dan memori semasa SMP kini
menyergap otakku, dan mengantarkanku pada sebuah perjanjian yang telah
kusepakati. Yaitu janji untuk tidak saling memiliki rasa yang lebih dari
sekedar persahabatan. Memang terlalu miris, memendam rasa ini bertahun-tahun, mengetahuinya
sendirian dan yah,tak mungkin jadi nyata. Khayalanku terlalu tinggi, hingga Aku
lupa bahwa semunya tak mungkin terjadi.
Tenggggg…., teng………..,
tengggggg……….,
Bel pertanda istirahatpun telah
berbunyi. Kuhentikan khayalanku yang tak mungkin jadi nyata itu, kucoba
bertindak sewajarnya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Kini kusaksikan Ryan
dibalik pintu kelas sambil tersenyum padanya. Seketika seorang murid perempuan
langsung mendekatinya, menggandeng tangannya dan menariknya pergi. Muncul
sejuta tanda tanya diotakku. Siapakah dia? Mengapa terlihat begitu akrab dengan
Ryan? Padahal Ryan tidak pernah cerita soal prempuan-perempuan yang dekat
dengannya? Ada kegelisahan dihatiku, ada sebuah gejolak yang memaksaku ingin
tahu siapa perempuan itu! Hingga kuputuskan untuk menunggu Ryan dikelas,
memintainya penjelasan dan memarahinya atas keputusannya yang menyumbunyikan rahasia
dariku. Baru saja ingin kulemparkan sepatuku kewajahnya yang polos itu. Namun,
rasa kasihan menyelimuti hati dan fikiranku.
“Hey kamu!yang tadinya bareng
pacar baru?.” Ujarku dengan wajah yang benar-benar kesal
“Kamu, kenapa sih, In? dia bukan
pacar Aku, dia fansku.”dengan tawa yang sangat besar
“Masa bodoh-_- malas tau, Kamu
udah berubah. Anggep Aku sahabat kamu ajah kayaknya enggak!” Kini nada suaraku
mulai melemah.
“Astaga Intan
sayangku,cintaku,princessku enggak akan mungkin ada yang gantiin kamu bro! Kamu
limited edition. Cuma satu dan yah hanya satu. Kamu ngambek tambah lucu deh.”
Ujurnya seraya menarik hidungku yang agak pesek.
“Ryan, kali ini Aku serius!” kini
mulai kutatap matanya yang seakan penuh dengan kebahagiaan
“Intan, sudahlah ini sekolah,tempat
belajar bukan untuk membahas mengenai persahabatan. Kita selesaikan sepulang
sekolah. Kita habiskan hari hanya berdua. Kamu.., dan Aku.., hapus air matamu.”
Ujarnya seraya menghapus tetesan air mata yang telah membasahi pipiku.
“Baiklah, ingat janjimu!” balasku
Bapak guru, telah memasuki kelas.
Pertanda pelajaran matematika pun kan segera dimulai dengan lemas kuraih buku
tulis yang ada dalam tasku. Menyimpannya di hadapanku dan tak melakukan apa-apa
lagi selain memperhatikan Pak Guru yang sedang menjelaskan. Sesekali jika perlu
kucatat rumus-rumus yang dijelaskan sambil terus berfikir tentang janji Ryan.
“Ian?”
“Iya,ada
apa Tan?”
“Janji
yah. Nanti sepulang sekolah?”
Iyadong,
masa sih Aku bohongin Kamu princess Pesekku.”
“Oke,
pangeran jelekkux_x
Tawa
kami pun pecah, panggilan itu kembali menyeretku pada potret-potret masa lalu
dimana ada Intan dan Ryan kecil disana sedang memainkan istana pasir mereka.
Bermimpi menjadi putridan pangeran. Sungguh masa kecil yang menyenangkan saat
cinta itu masih bagaikan sesuatu yang asing dan belum dikenali. Seiring waktu,
kami tumbuh, besar dalam lingkungan pergaulan yang sama. Saling melengkapi
kekurangan masing-masing walau banyak yang bilang kami inilah, apalah. Tak jadi
masalah. Bagiku dan Ryan tawa dan kebahagiaan adalah segalanya. Karena setiap
perjumpaan kami yang hadir hanya tawa, namun, itu berlaku dulu sebelumnya kami
mengenal apa itu cinta. Dan kenyataannya yang terjadi dimasa putih abu-abu
adalah berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dimasa putih merah dan putih
biru. Sungguh cinta itu mampu mengubah apa saja dalam jangka waktu yang tidak
relatif lama.
Tenggggg…., teng………..,
tengggggg……….,
Bel
pertanda pulangpun telah berbunyi saatnya membereskan alat tulis menulis dan
menyimpannya baik-baik didalam kelas. Wajahku telah kembali ceria, hatiku telah
normal tak lagi gelisah dan tak lagi takut
akan kehilangan. Kini kumulai berjalan besampingan dengan Ryan menuju
sebuah taman yang tak jauh dari sekolah. Tapi, perempuan yang tadinya
menggandeng tangan Ryan kini hadir tepat dihadapanku. Tersenyum seraya
mempertihatkan behelnya yang indah. Yah, dia cantik sekali.
“Intan,
kenalin ini Rima tetangga kelas sebelah. Cheers sekolah loh.” Ujar Ryan
memperkenalkan gadis itu kepadaku.
“Oh,yah?
Namaku Intan, sahabatnya Ryan.” Ujarku sambil menjulurkan tanganku kepadanya.
“Ah,
enggak penting deh Kamunya. Pergi dulu deh sana ada yang Aku pengen omongin
bareng Ryan. Bisakan Kamu jauh-jauh?” ujarnya seraya menepis tanganku.
“Rima,jangan
kasar begitu dong.”
“udahlah,
Ian. Enggak apa-apa. Gue, tunggu ditaman yah?” Ujarku seraya meninggalkanya
pergi.
Mataku
kini mulai berkaca-kaca lagi. Dia siapa? Dia kasar! Dia tidak sopan! Dia
seperti penyihir jahat dalam mimpiku. Dan dia seperti gadis yang ingin merebut
Ryan dariku. Kupercepat langkahku menuju taman. Disini sepi, hanya ada Aku dan
semilir angin juga pepohonan dan tempat duduk didepannya. Telah hampir 1 jam
kuterduduk ditempat ini seraya menunggu Ryan datang. Namun, tak pernah ada
tanda-tanda dia akan muncul. Langit mulai menghitam, awanpun mulai gelap. Petir
pun mulai menyambar-nyambar. Dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.
Aku tak perduli derasnya hujan hari ini yang menyerangku secara tiba-tiba.
Akupun tak perduli dinginnya air hujan menusuk tubuhku hingga sampai
ketulang-tulang. Dan Akupun tak perduli akan demam yang akan menimpaku sesudah
ini. Karena, yang Aku fikirkan hanyalah tetap berada disini menunggu sang
Pangeran Jelek datang dan menepati janjinya. Tubuhku kini sudah mulai
menggigil, suhu tubuhku kini mulai meninggi, dan tak ada Ryan disini. Sungguh
sangat mengecewakan. Kulangkahkan kakiku pulang. Menyusuri setiap inci demi
inci dari terotoar. Menangis dan terus menangis ditengah guyuran hujan yang
sangat deras. Ingin kuberteriak sekencang-kencangnya meluapkan segala rasa
kecewa, sakit dan pedih yang kurasakan. Namun, seakan suaraku tertahan. Semunya
tinggal ditenggorokan. Hingga membuatku batuk terus menerus. Sampailah Aku
dirumah, lekas kumandi membersihkan semunya setelah itu tidur sejenak melepas kegalauan
yang kurasa.
“Dimana
Aku?” ujarku kebingungan
“Kamu
dirumah sakit sayang.” Ujar Ayah.
“Yah,
Ryan tau, kalau Intan sakit?
“tadi,
Ayah sudah hubungi orangtuanya dan katanya pulang sekolah dia mau kesini”
“Oh,
iya?baguslah. Makasih Ayah?”
Jam
dinding telah menunjukkan angka 3 dan biasanya semuanya telah pulang sekolah.
Atau mungkin Aku, enggak penting lagi dihidupnya Ryan, kan udah ada Rima.
Hatiku membatin. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namaku. Dan suaranya
tak lagi asing ditelingaku. Kubuka mataku, kulihat wajahnya yang manis itu
tersenyum kepadaku dan tak kulihat ada tanda-tanda merasa bersalah di wajahnya.
“Kenapa
Kesini, pergi saja sama perempuan yang cantik itu. Dia lebih segalanya daripada
Aku, Kamu lebih cocok temenan sama dia daripada sama Kamu yang kutu buku,
jellek, cupu dan enggak banget deh buat temenan sama kamu yang anak basket
cool, ganteng lagi.” Ujarku seraya membelakanginya.
”Kamu
kenapa? Cemburu sama Rima?”Ujarnya dengan nada heran.
“Aku,
enggak cemburu, Cuma yah, enggak pantes ajah temenan bareng Kamu. Toh, punya
janji sama Aku ajah diingkarin, yah, itu bukti kalau kehidupan kita tuh udah
beda. Kamu diatas. Aku dibawahJ “ ujarku yang lagi mampu membendung air mata yang menetes
ini.
“Maafin
Aku Tan, bukan maksudku mengingkari janjiku. Namun, ada pertandingan basket
yang harus aku hadiri. Dan Aku tak sempat memberitahumu. Sekali lagi Aku minta
maaf.” Ujarnya kepadaku
“hahaa..
udahlah Ian, kan Aku, memang enggak penting buat kamu, yah, wajarlah kamu lupa.
Aku mati sekarang ajah kamu biasa-biasa aja.” Ujarku tersenyum
“Intan,
Aku mohon percayalah. Kamu!namamu! selalu ada disudut terpenting dari memori
ingatanku. tak ada sedikitpun maksud untuk itu. Aku ada disini Karena Aku
perduli, Karena Kamu sahabatku, teman yang tak pernah meninggalkanku saatku
masih dibawah dan sampai sekarang Aku
brada diatas dan popular seperti sekarang ini.” Ujarnya menatapku lekat-lekat.
“Ryan,
kita sama-sama tumbuh, kita sama-sama melewati setiap momen. Namun, saat cinta
telah menyapamu. Semunya bagai sirna, Aku bagaikan orang asing jika berada
disampingmu, Aku bagaikan seseorang yang tak seharusnya ada di dihidupmu dan
Aku, bagaikan parasit yang menumpangi hidupmu. Jika memang kehadiranku
membuatmu tidak nyaman. Maka katakanlah,
Aku akan pergi jika itu bisa membuatmu bahagia.” Ujarku terseyum menatapnya.
“Apa
yang Kamu katakana Intan? Aku tak pernah merasa terganggu jika Kamu ada. Bahkan
Aku merasa nyaman, Aku merasa seperti punya Ibu, sosokmu yang bagaikan Ibu yang
lemah lembut yang membuatku begitu menyayangimu. Dam bila boleh, Aku melanggar
janji itu, Aku ingin kita lebih dari sekedar sahabat. Didalam dirimu kutemukan
sosok wanita yang senantisa hadir menyapa setiap tidur malamku. Dan Cuma Kamu
Intan, yang bisa membuatku bangkit dari keterpurukan menuju keberhasilan.”
Ujarnya padaku
“Ryan,
Akupun demikan jika saja janji itu dapat kulanggar, Aku ingin selamanya
disampingmu, lewati setiap demi detik demi detik menuai cinta dan kasih hingga
usia kita menua nantinya. Namun, meyatukan namamu dan namaku dalam satu kertas.
Bagaikan menulis dengan menggunakan pena tanpa tinta. Tak terlihat, tak punya
warna lain selain putih dan putih. Janji itu membuat semunya menjadi khayalan
yang tak mungkin jadi nyata.” Ujarku sambil terduduk dihadapannya.
“Sudahlah
Intan. Itu hanyalah perjanjian yang dibuat dua anak kecil yang belum mengerti
arti cinta yang sesungguhnya. Kini kita telah mengetahuinya, kita telah
mengenalnya dan kita telah cukup usia untuk merasakannya”ujarnya
“Tapi,?
Bagaimana dengan persahabatan kita?”
“persahabtan
itu didasari karena adanya rasa cinta, rasa saling mengasihi oleh sebab itu
persahabatan yang menjadi cinta akan berakhir dengan indah. Percayalah. Pena
saja yang tak bertinta bisa terisi dengan tinta lagi dan dapat menggoreskan
kisah baru lagi, lalu kenapa kita tidak?”
“Ryan,
baiklah! Detik ini, menit ini jam ini, hari ini, bulan ini, dan tahun ini telah
kuputuskan untuk bersamamu. Bukan lagi sebagai sahabat, melaikan sebagai
kekasih.” Ujarku menatapnya dengan air mata haru,
“Intan,
dan untuk saat ini, Aku telah memilihmu untuk menjadi satu-satunya perempuan
yang akan menemaniku hari ini, besok, lusa dan selamanya hingga tanganku tak
lagi mampu menghapus air matamu dan hingga bibirku tak lagi mampu memanggilmu
dengan sebutan “sayang.” Kamu, yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku dan kamu
yang akan bersamaku melukiskan kisah baru dengan pena yang kini telah memiliki
tinta.”
Post a Comment