CERBUNG "INARA" part 1




#Inara Adiib

3 tahun bukan waktu yang sebentar. Memendam rasa selama kurang lebih 3 tahun lamanya bukanlah perkara yang mudah. Aku jatuh cinta, jatuh cinta pada sesosok lelaki yang kini menjadi sahabatku, lelaki yang selalu ada dalam keseharianku, lelaki yang bahkan tanpa kumintapun dengan setianya mendengar curhatanku mengenai masa lalu yang begitu mengecewakan. Aku, Inara Abiid jatuh cinta kepada si lelaki pecinta TIK, yang hatinya sudah mati akan rasa cinta.

“Rah..”
 
“Iya, kenapa La?”

“ Dicariin Ahmad tuh”

“Ohiya, tunggu.” Segera kubereskan alat tulis yang masih berserakan, dan berjalan menuju Ahmad yang sedari tadi sudah menunggu didepan kelas.

“ Ada apa?” tanyaku.

“ Ini undangan dan stempel, ditandatanganin dan yah kamu aturlah sendiri.” Jawabnya sambil menyerahkan kantongan berisi undangan-undangan acara event TIK.
“ Jangan pergi dulu, bantu aku! Kan kamu ketuanya.” Kataku, menghentikan gerakannya yang akan pergi meninggalkanku.

“Rah, aku lapar, kerja sendiri yah cantik! Ayolah sahabatku yang paling manis.” Godanya dengan begitu busuk. Dan kalau sudah begini aku bisa apa? Bersahabat dengannya selama bertahun-tahun lamanya membuatku tak bisa menolak permintaannya terlebih jika sudah dalam kondisi seperti ini.
“ Nanti sepulang sekolah aku tunggu di parkiranyah? Kita antar suratnya sama-sama.” Tambahnya.
“Oke,oke.” Balasku dengan nada pasrah. Dia selalu saja begitu, selalu sukses melumpuhkan pertahananku yang sebenarnya kuat.

“Yessss.” Kata terakhir yang kudengar sebelum akhirnya dia benar-benar pergi meninggalkanku. Segera kukerjakan apa yang tadi dia perintahkan, 15 menit kemudian semuanya sudah selesai. Kuraih pena dan kertas lagi, memulai imajinasiku bersama dunia kata dan majas, entah dari sudut dan celah mana, aku merindukannya, merindukan tahun pertama perkenalan kami, merindukan perpaduan tawa yang pecah karena cerita dan tingkah-tingkah bodoh yang kami peragakan bergantikan, namun semuanya telah berbeda. Jabatannya, membatasi kedekatan yang mulai tercipta hingga aku lelah terlalu benyak berharap dan menganggap semuanya hanyalah bagian dari persahabatan. Namun, aku salah menilai semua rasa yang tercipta, telalu klise jika kusebut dengan kata biasa. Apakah rasa yang hadir ini salah? Entahlah! Kutuliskan sedikit kata yang singgah dalam nalarku pada secarik kertas yang berada di genggamanku, merangkainya menjadi sebuah asa, dan merakit kertas betuliskan kata itu menjadi sebuah pesawat-pesawat kertas, lalu menerbangkannya sejauh yang aku bisa berharap dia yang menemukannya dan membaca tiap goresan yang terangkai.

Untukmu, yang selalu saja punya tempat yang berbeda dihatiku,hari ini aku melihatmu mengenakan seragam putih abu-abu dengan rambut yang tidak seperti biasanya, dengan senyum masih sama seperti dua tahun yang lalu ketika kedua bola mataku petama kali memadangmu, kamu tersenyum kearahku! dan kau hadirkan bunga-bunga itu lagi dihatiku, selamat beraktifitas sosok yang kugagumi. –AA-
 
Entah harus sampai kapan terpenjara dalam rasa yang entah harus diberi nama apa! Aku terlalu nyaman mencintainya diam-diam, terlalu nyaman dalam kerahasiaan terlalu nyaman memandangnya sebagai sahabat, sudahlah! Kulirik jam di tanganku, astaga pukul 03:00 “Ahmad, maafkan aku!”  segera kuraih tasku, menyusuri koridor sekolah, berlari secepat yang aku bisa, kenapa aku bisa melupakan janji yang seharusnya kuingat, astagfirullah otak, tidak bisakah kau berfungsi dulu! Dengan nafas yang masih terengah-engah mataku terus menyusuri parkiran sekolah, berharap Ahmad masih ada disana, dan tampak di kejahuan sana sesosok lelaki berseragam putih abu-abu melirik jam tangannya serasa matanya sibuk mencari-cari sesuatu, mungkin itu Ahmad. Segera kuhampiri lelaki itu, meneriakkan namanya berulang-ulang dan akhirnya dia menoleh. 
“Maaf telat.” Ujarku dengan nafas yang terengah-engah. 
“telat sejam loh.” Tukasnya dengan wajah datar. 
“Aku lupa, maaf”
 “Yahsudahlah, kita pulang saja, toh sudah jam 3” Katanya sambil membunyikan motornya dan pergi meninggalkanku seorang diri. Jadi begini persahabatan? Aku hanya telat sejam, yah hanya sejam dan dia pergi meninggalkanku? Hanya karena 60 menit keterlambatanku?sahabat macam apa! Kupercepat langkahku meninggalkan sekolah, tanpa mengucap kata permisi pada gerbang yang menyapa, aku marah! Marah, sejak kapan Ahmad menjadi pemarah seperti itu! Itu bukan dia, yang  dua tahun lalu kukenali. Dengan hati yang masih membara, dengan emosi yang masih berapi-api aku putuskan untuk kembali kerumah dan menetralkan hati dan fikiran, hari ini aku kecewa!
                                                                                      +++++
#Ahmad Arif
Apa yang sudah kulakukan Tuhan, meninggalkannya sendirian di parkiran? Meninggalkan sahabatku sendiri! Sahabat macam apa aku ini, dia memang pelupa, dan kenapa aku tidak bisa memahami itu. Rasa bersalah terus menghantui ketenanganku, terlalu bodoh meninggalkan sahabatku sendiri hanya karena rasa muak dan lelah, “maafkan aku Rah!” Segera kubalik haluan, berharap Inara masih berada  disana dan masih ingin tersenyum. Kulihat pagar sekolah sudah terkunci, pertanda Inara sudah pulang, pasti dia sangat kecewa akan sikapku yang menyakitinya, dia sudah berusaha untuk menepati janjinya, tapi aku? Sama sekali tidak menghargai apa yang telah dia perjuangkan, sahabat macam apa aku ini! Lekas kutancap gas motorku, menyusuri meter demi meter aspal yang kulalui, rasa bersalah terus saja menghantuiku, hingga aku tiba di depan rumahnya. Ingin kuteriakkan namanya, tapi aku tidak punya keberanian untuk itu, hingga kuambil secarik kertas menuliskan sedikit sajak untuk mengobati kekecewaan yang mengkabut dihatinya.
 
“Rah, senyum dong! Aku tahu kamu sedang kecewa, aku tahu sulit untukmu untuk menerima keadaan yang nyatanya menyiksa ini. Tapi tenanglah aku sang Secret Admirer akan selalu berusaha membuatmu tersenyum. Perkenalkan, aku bukan imajinasimu, bukan ilusi, bagian nyata dari rentetan katamu, dan senyummu adalah bahagiaku” –IA-
 
Sedikit sajak yang mewakili perasaanku kepadanya selama ini. Entah sejak kapan rasa itu mulai tumbuh, entah sejak kapan dia berubah jadi hal indah dalam keseharianku dan entah harus sampai kapan memendam rasa cinta yang entah harus dilabeli apa. Kurakit kertas itu menjadi perahu kertas, benda yang begitu di sukainya, kuletakkan didepan pintu rumahnya, kuketuk pintunya, sekali, dua kali dan akhirnya terdengar suara langkah kaki. Segera, kuberlari kearah motorku, menyaksikannya dari balik pohon mangga besar dekat rumahnya, tampak perempuan berjilbab keluar, dan mengambil perahu kertas yang kurakit tadi dan kembali memasuki rumahnya. Kurasa sudah saatnya aku kembali kerumah, mengistirahatkan tubuh untuk hari esok.
                                                                             +++++
#Inara Abiid
Siapa yang mengirimkan surat ini? Seceret admirer?entahlah! tapi, siapa dia? Rasanya permasalahan ini tidak ada yang tahu, siapa yang peduli jika aku kecewa? Tulisannya pun begitu familiar dalam ingatanku, dia orang yang sama, dia oang membuat wajahku memerah karena dua keadaan, malu dan marah! Yah, aku mengenali pemilik sajak ini, dia lelaki itu!
                                                                             +++++
Teengggg..., teng..., Bel sudah berbunyi ketika langkahku hampir saja kalah oleh waktu, surat kemarin membuatku terus memutar otak, menerka-nerka sang penulisnya dan yah sukses mengembalikan insomnia yang sudah lama pergi dari hidupku. Langkahku terhenti ketika seseorang menepuk bahuku, tanpa sadar akupun menoleh dan menyaksikan wajah itu lagi, dia, dia dan dia lagi!

“ Rah.” Panggil Ahmad

“Ada apa Ahmad? Belum puas kamu kecewain aku? Belum puas liat aku marah, enggak tau malu banget kirimin perahu kertas, sampe-sampe ngaku jadi secret admirer. Rencana apa lagi yang kamu lakukan? Belum cukupkah menghancurkan perasaanku?” ucapku seraya pergi meninggalkannya. Rasanya begitu sakit, tertusuk, dan benar-benar hancur! Sosok yang kukagumi selama bertahun-tahun yang kukira bisa membuatku selalu melukiskan senyum, pada akhirnya sukses meruntukan bendungan ,mata yang sudah begitu baiknya kutata. Butiran hangat menyalir dari balik pelupuk mataku, pipiku basah akan kekecewaan, aku salah! Salah dalam menjadikannya sosok sempurna bak dewa.

“Rah, tunggu! Aku bisa menjelaskan semuanya, tolong jangan pergi!” panggilnya serasa menarik jemariku sehingga langkahku terhenti.

“Apa yang harus dijelaskan? Sudah jelaskan kamu meninggalkanku hanya karena 60 menit, sahabat macam apa kau! Lalu, sajakmu? Apa lagi itu Ahmad, aku tahu kamu punya banyak penggemar, dan aku? Hanya asistenmu yang selalu menjadi wadah para penggemarmu untuk menyampaikan aspirasi, gue tau loe orang hebat!” Jawabku sambil terus saja menumpahkan rasa yang selama ini tertahan. 
“ Kumohon jangan menangis Rah, aku, aku, aku minta maaf untuk semua luka yang pernah kugoreskan di hatimu. Soal diparkiran kemarin aku minta maaf, aku hanya terlalu banyak tugas, terlalu banyak beban fikiran, hingga aku lupa bahwa kamu orangnya pelupa, tolong hapus air matamu.” Ujarnya serasa menghapus air mata yang membanjiri pipiku.
“Hei! Apa yang kalian lakukan di tengah lapangan begini? Jam pelajaran sudah akan di mulai dan hey, Inara kenapa kamu menangis? Apa yang dilakukan Ahmad?” suara itu memecah keharuan yang tercipta, kami tidak sadar bahwa tempat kami berpijak adalah ditengah lapangan yang sebentar lagi akan diadakan apel, kulihat ratusan pasang mata melirik kearah kami, kulihat ada banyak yang melirik kami dengan tatapan sinis, aku tak percaya sama sekali tak percaya bisa menjadi sorot perhatian seluruh warga sekolah, aku disini, di tengah-tengah lapangan upacara dengan air mata yang membasahi pipi dtemani dengan lelalki itu, aku tak percaya, mungkin ini hanyalah mimpi. Kucubit pipiku, dan ternyata ini bukan mimpi! Segera kuberlari menerobos kerumunan siswa berseragam putih abu-abu, namun langkahku terhenti ketika sesosok jemari menarik tanganku, memaksaku untuk kembali ketempatku bepijak, dan apa daya?aku tak bisa untuk menolak.

“ Baiklah, didepan mereka semua aku mengakui telah lama mengagumimu, telah lama menjadikanmu hal terindah, aku tidak pernah meminta untuk menjadikanmu lebih dari sahabat, aku tak pernah meminta untuk memilikimu sebagai kekasih, bukan karena jabatanku yang penting disekolah ini, bukan karena larangan pacaran, bukan karena kau tidak pantas untuk disentuh dengan cinta, tapi persahabatan yang kita bina bertahun-tahun memaksaku untuk mencintaimu diam-diam, pikirku mungkin memang begitu sebaiknya supaya kita bisa sama-sama fokus untuk menata masa depan, aku menikmati setiap momen-momen gila yang kita ciptakan, aku menyayangimu, mungkin kau bisa membaca tatapan maacam apa yang kupunya saat mata kita bertemu tanpa sengaja, harusnya sudah sejak dulu aku mengakui perasaanku, harusnya kemarin aku tidak meninggalkanmu sendirian, harusnya aku mengerti karaktermu, harusnya aku tidak mencintaimu sepeti ini, maafkan aku yang begitu kurang ajarnya mencintaimu yang jelas-jelas adalah sahabatku sendiri.” Sontak jantungku berhenti berdetak, pengakuan macam apa ini? Ratusan sosok memandangi kami, mendengar pengakuan mengejutkan dari sosok berpengaruh dalam sekolah, aku terdiam, memandang lelaki dihadapaku tanpa memperdulikan sekelilingku yang dipenuhi lautan manusia.

                                                                           BERSAMBUNG


Sumber gambar: http://i.ytimg.com/vi/wZa9BZrGv_U/hqdefault.jpg

Post a Comment