CERBUNG "INARA" part 4


Untuk membaca laman ini, tolong baca dahulu part sebelum-sebelumnya, tujuannya untuk anda mengeti bagaimana sebenarnya jalan cerita dari postingan berjudul CERBUNG "INARA" part 4 ini, makasih! selamat membaca:)





“Rah,bangun dong, heiii Inara Adiib bisakah kau buka matamu dulu? Aku Ahmad hei, arhg!” tubunya sudah kuguncang-guncang, tetapi tetap saja dia hanya diam, membisu. Aku seperti orang gila saja, berbolak balik, mengutak atik ponsel, melontarkan “PIU” berkali-kali kepada lelaki kurang ajar bernama Asgaf itu. Tiba-tiba saja sesosok wanita lansia, memasuki UKS ditemani dengan lelaki berpakaian putih abu-abu yang gaya dan penampilannya sangat berantakan, wajahnya dipenuhi keringat, rambutnya acak-acakan dengan raut wajah yang begitu cemas, lelaki itu dia, si kurang ajar yang telah menyakiti sahabatku hingga wajahnya yang berseri berubah menjadi memucat layaknya mayat hidup, dan lelaki ini harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan.

“Rah, kenapa kamu Nak?” Teriak wanita tua itu.

“ Mungkin akan lebih baik kalau kita membawanya kerumah sakit saja, badannya sangat panas Nek, wajahnya juga sangat pucat, saya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Itu dia sudah ada Ambulance.” Ujarku seraya menunjuk Ambulance sekolah. Segera kuajak Asgaf mengambil tandu, dan menaikkan Inara kemudian mengantarkannya kedalam Ambulance.  Terlalu banayak hipotesis yang bermunculan dibenakku, terlalu banyak jika harus kulampiaskan dengan emosi. Kamipun ikut serta membawa Inara kerumah sakit, Raut kekhawatiran tergambar jelas dari balik kulit wajahnya yang sudah berkeriput, dengan rambut yang telah memutih, dengan deretan gigi yang sudah tak utuh lagi, perempuan tua itu menyeka air matanya, sembari memegang erat jemari cucunya. Pemandangan yang begitu mengharukan ketika ketulusan menyentuh dengan cinta. Aku sudah lama tak merasakan kehangatan pelukan nenek, aku sudah lama kehilangan perempuan tuaku, dan sudah lama kehilangan wajah keriput tua yang selalu mengatur, memarahi bahkan lebih dari orang tuaku sendiri. 

Abulance telah memasuki rumah sakit, cepat-cepat dokter melakukan penanganan, nenek tua itu masih saja sibuk mondar mandir dengan hujannya yang belum reda.

“Nek, duduk saja. Mari kita doakan yang terbaik.” Ujarku menenangkannya.

“ Dia adalah harta saya satu-satunya Cu’. Sebelum ayah dan ibunya memutuskan berjalan masing-masing, dia menitipkan permata yang begitu indah, cantik dan juga pengukir bahagia. Dia anak perempuan yang baik, sungguh kenyataan yang pahit untuk gadis belia seusianya.” Jawab perempuan tua itu dengan pandangan kosong dan mata mendung. Aku tak habis pikir, rupanya gadis seriang Inara adalah gadis kesepian yang bahkan tak pernah merasakan buaian lembut ayah dan ibu. Pantas dia selalu berlagak seperti orang gila dan aneh. Dia hanya mencoba menghibur hatinya yang kelabu. Aku baru memahami makna dibalik senyum dan makna dibalik tawa yang dimanipulasi oleh rasa. Dia, gadis kuat!dia Kapten Pkku yang malang!

“Iya, saya paham perasaan nenek, tapi kita perlu membantu dengan do’a. Allah adil nek, kita hanya perlu meyakini bahwa dibalik cobaan yang Allah berikan, selalu terselip hikmah dan pembelajaran untuk kita bisa jadi lebih baik, Inara gadis yang baik, Allah pasti juga telah merencanakan hal yang terbaik, sebaiknya nenek pulanglah dulu beristirahat, biar saya yang menjaganya disini.” Ujarku serasa menghapus air mata yang telah memenuhi wajahnya yang lesuh dan lelah.

“Tapi, bagaimana dengan orang tuamu nak? Nenek tidak mau mereka khawatir, dan siapa yang akan menemanimu disini?” tanyanya khawatir.

“Besok hari minggu nek, dan soal orangtua tenang saja, mereka pasti mengizinkan. Saya tidak apa-apa sendiri. Inara adalah sahabat saya, dan ini sudah menjadi kewajiban saya. Sebaiknya nenek pulanglah beristirahat, saya akan menjaganya dengan baik. Percayalah!”Jawabku meyakinkannya.

“Baiklah, nenek titip cucu nenek yah Cu’, telfon nenek jika terjadi sesuatu.”

“Iya nek, Ahmad akan melaksanakan tugas dengan baik.” Kata terakhir yang kuucapkan sebelum akhirnya nenek Inara pulang untuk beristirahat. Kulangkahkan kakiku kearah kaca ruang ICU, kulihat dokter masih sibuk dengan tubuh Inara dan juga alat-alat yang aku tak mengerti fungsinya apa, fikiranku entah kemana, aku tak tau bagaimana keadaannya didalam sana, bibirnya masih juga memucat, wajahnya pun demikian, yah Allah berikan pertolongan untuk sahabat hamba! Dengan fikiran yang kacau, kuraih ranselku, merobek pertengahan dari bukuku dan seperti hal yang sering kulakukan jika tengah menyaksikannya bersedih dan kesakitan adalah merangkaikan kata penyemangat untuk sekedar membuatnya merasa berarti.

Untukmu, yang saat ini tengah terbaring lemah didalam sana dengan banyak alat yang tak kumengerti, dan juga dikelilingi dokter beserta perawat berseragam serba putih, aku menyaksikanmu dari balik kaca, melihat wajahmu yang memucat, melihat matamu yang masih juga terpejam dan melihat sosokmu yang berbeda. Kapten Pkku, bertahanlah! Bertahanlah untuk orang-orang yang menyayangimu, bertahanlah untuk nenek yang terlampau tulus mencintaimu, bertahanlah karena skenario Tuhan belum juga mempertemukan kita dalam satu episode meskipun pada kenyataannya kita telah bersandiwara diatas panggung yang sama. Tapi, diam membuat peranku dan peranmu tak terlihat. Bertahanlah, aku ingin melihat senyummu lagi, aku ingin mendengar celotehmu yang memanaskan telinga, aku ingin memperagakan goyangan aneh yang kau ciptakan sendiri. Aku merindukan kebersamaan yang hangat denganmu. Diluar sana hujan, aku tahu kau suka hujan karena dengan hujan akan ada banyak genangan air diselokan sekolah, dan disitulah kesempatanmu melayarkan perahu kertas yang selalu menjadi ciri khasmu, kamu aneh tapi itu yang membuatku mencintaimu! Bangunlah, bangunlah, mari kita layarkan perahu ini bersama-sama, merangkai tawa dalam rintik hujan, menari diatas rumput yang basah dan menengadahkan wajah kelangit hingga anugrah Tuhan menusuk wajah dengan lembut, aku ingin melukis pelangi bersama jemarimu, meraih nila melalui rasamu, merangkai kata menjadi sajak merah jambu. Bisakah kau membuka mata? Untuk sekedar menyaksikan keberadaanku disini,untuk mengenali sosokku yang sebenarnya? Bisakah kau kenali aku dalam nyata, bukan dalam imajinasi dan fantasi. Aku mengkhawatirkanmu, cepat sembuh kapten Pkku{} –IA-

Segera kurangkai lembaran itu menyerupai perahu kertas, berharap sajak sederhana ini dapat menjadi penyemangat untuknya, walaupun kutau dia baru akan membacanya ketika terbangun dari sakitnya. Ditengah lamunanku, sesosok jemari tiba-tiba menepuk bahuku, sontak aku kaget dan langsung membalikkan badan menghadap sipenepuk bahu.

“Ahmad, gimana keadaan Inara? Dia udah baikan?”

“Apa pedulimu? Bukankah ini kesalahanmu?”

“Aku? Maksudmu? Kami hanya menjalani hukuman bersama,dan dia pingsan.” Ujarnya menjelaskan.

“Hei Gaf, gue kenal sahabat gue, dia gadis kuat! Enggak mungkin semudah itu pingsan Cuma karena cuci WC, loh apain dia? Jujur ajah.” Tambahku, sambil menarik kerah bajunya.

“Hei, harusnya loh berterima kasih sama gue karena udah nolongin sahabat loh, coba bayangin kalau gue enggak nolongin, bakal mati sahabat aneh loh itu. Harusnya gue yang nanya, sahabat macem apa loh? Sahabat sakit ajah dibirarin bersihin WC sendirian, malu gue jadi loh.” Tukasnya, seraya melepaskan tanganku dari kerah bajunya.

“Jaga mulut loh, dia enggak seaneh yang loh pikir, manusia macam loh? Punya ibu kan? Dia perempuan sama kayak ibu loh, udah Gaf, kalau loh mau cari ribut jangan disini, kalau sampai terjadi apa-apa sama sahabat gue, loh bakalan habis!ingat itu, gue enggak pernah mau kasar, tapi loh yang nantangin duluan, mau loh apa?” tanyaku dengan emosi yang membara.

“Ahmad, aku kesini baik-baik bisa kita tidak bertengkar dulu? Inara sedang bertaruh dengan maut dan loh masih bisa marah hanya karena penyebab masalah ini? Sudahlah, aku ngaku salah, aku menyiramya dengan air,sampai dia benar-benar basah kuyup dan selepas itu aku menyasalinya Mad, aku hanya dikuasai dendam waktu itu dan tak tahu kalau dia sedang sakit, aku menyesalinya, tolong maafkan sikapku yang seperti bocah ingusan, aku khilaf.” Jelasnya dengan wajah bersalah.

Aku hanya terdiam, mendengar pengakuan mengejutkan dari Asgaf, lelaki macam apa dia. Melakukan hal yang begitu diluar nalar untuk seusia anak SMA, Asgaf merenggut bahagiaku yang sederhana, Asgaf, menyakiti permata nenek yang indah dan Asgaf, melukai wanitaku, pujaanku yang teramat dalam kucintai walau hanya melalui diam.

Tanpa berfikir panjang segera kudaratkan tinju dipipi kirinya, melampiaskan emosi, dan juga amarah yang telah menggebu-gebu, aku terluka, aku merasa tak berguna, aku merasa kesal mengapa aku tak berada disana pada waktu itu. Aku membencinya, membenci lelaki yang tengah penyeka darah yang keluar dari balik bibirnya.

“Pukul Mad, pukul terus aku memang pantas mendapatkannya, tapi aku benar-benar menyesali perbuatanku, tolong maafkan aku.” Pintanya dengan mata berbinar

“Kau keterlaluan Gaf.” Kata terakhir yang kuucapkan sebelum akhirnya pukulan kedua kudaratkan pada pipinya yang kanan.

Baru saja ingin kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah sakit, lelaki berseragam serba putih keluar dari ruang ICU.

“Keluarga dari Inara ada? Ada yang ingin saya bicarakan, ini penting!” tanyanya dengan wajah serius

“Ada apa Dok? Saya keluarganya.” Jawabku

“Saya juga keluarganya Dok.” Timpa Asgaf

“Baiklah kalian berdua mari ikut keruangan saya sekarang.” Katanya seraya berjalan menuju ruangan. Sekitar dua menit berjalan, kami telah sampai diruangan full AC dengan tata ruang yang rapi dan bersih.

“Ada apa dengan Inara dia bak-baik sajakan Dok?” tanyaku.

“Pasien, sekarang sedang koma, dia kekurangan darah dan yang ingin saya sampaikan bahwa persediaan darah dirumah sakit kami untuk golongan darah AB sedang kosong.”

“Silahkan ambil darah saya Dok, golongan darah saya sama seperti Inara.” Ujar Asgaf.

“Jangan dia Dok, saya bisa mencari darah di Bank darah PMI.” Ujarku tak ingin darah Asgaf mengalir dalam tubuh Inara.

“Tapi, kita sangat membutuhkannya dalam waktu cepat, Bank darah PMI jauh dari rumah sakit ini. Lebih baik kita coba dulu adek ini, sapatau dia cocok dan kita dapat melakukan penanganan yang cepat dan teman dari adik-adik dapat segera tertolong.” Ujar dokter menjelaskan dengan panjang lebar.

Dan aku? Aku tidak dapat melakukan apapun selain mengangguk pasrah. Kenapa harus Asgaf? Tidak adakah orang lain yang bergolongan darah AB dirumah sakit ini? Kenapa harus lelaki bejat itu? Kuhempaskan nafas panjang, lalu mengucap permisi pada dokter untuk meninggalkan ruangan. Aku kecewa, yah sangat-sangat kecewa atas kenyataan yang terjadi. Aku mengklaim Tuhan, kenapa aku tidak ditakdirkan bergolongan darah sama dengan Inara, kenapa? Argh, kutinju tembok yang terpampang sepanjang jalan, menghukum diri yang tak bisa berbuat apa-apa. Segera kumasuki ruang ICU, diam-diam memasukkan perahu kertas yang kurakit tadi kesaku Inara, berharap setelah dia sadar dia dapat membacanya.
                                                                         +++++


#Asgaf Ammar

“Dok, bagaimana? Apakah darah saya cocok? Apakah saya bisa mendonorkan darah saya?”

“Ahamdulillah bisa, silahkan masuk diruangan transfusi. Suster, tolong antarkan adik ini keruangan tranfusi darah.”

“Baik Dok.”

Suster itupun mengantarkanku keruangan tranfusi, sepanjang perjalan aku tak henti-hentinya berucap syukur, mungkin inilah waktunya dimana aku membantunya, memberinya sebagian darah, memberinya kesempatan menikmati hidup. Karenaku dia terbaring dan aku ingin karenaku juga dia membuka mata. “Inara, kau pantas bahagia.” Ujarku dalam hati. 

Sesampainya diruangan, suster mennginstruskanku untuk berbaring, kulihat dia telah siap dengan jarum ditangannya. Sejujurnya, aku takut dengan benda tajam, ada kisah silam, kenangan masa lalu yang membuat jarum begitu menakutkan.

“Suster tolong, pelan-pelan. Saya takut jarum.” Ujarku seraya memejamkan mata.

“Ih, Mas ini ganteng-ganteng kok takut jarum sih, malu sama muka Mas.” Katanya meledek

“Saya masih SMA Sus, saya bukan Mas bakso, bukan penjual sayur dan cepatlah selesaikan ini, saya sudah capek tutup mata terus Sus.” Ujarku kesal.

Kurasakan benda itu menembus kulitku, kurasakan perlahan menarik darahku, aku hanya dapat menahan ngilu, hanya dapat memejamkan mata, sembari menggit bibir. Harapanku hanya satu, kesembuhan untuk Inara.
                                                                           +++++


#Inara Adiib

“Aku dimana?” kata pertama yang terlontar dari bibirku ketika baru saja mataku berhenti terpejam.

“Inara sayang, kamu sudah sadar. Kenal nenek?” tanya nenek dengan cepat.

“Iyalah Nek,kayak aku habis tidur bertahun-tahun ajah.” Jawabku sambil tertawa. Kulihat wajah tuanya juga mengukir senyum, tampak rona kebahagiaan terpancar dari balik keriput diwajahnya.

“Ohiya, Nara boleh jalan-jalan enggak Nek? Bosen banget dikamar terus, boleh yah?” bujukku.

Tiba-tiba saja sesosok lelaki berseragam serba putih ditemani pemuda seusiaku memasuki ruanganku seraya menyukir senyum.

“ Assalamualaikum, sudah enakan Rah?” tanya Pak Dokter

“ Walaikumsalam, Alhadulillah sudah sembuh Dok, ohiya kenapa dia ada disini? Pulang loh” Ujarku seraya menatap sinis kerah pemuda itu.

“Eh Rah tidak boleh seperti itu, Nak Asgaf ini yang mendonorkan darahnya sampa kamu bisa selamat, tadinya kamu koma selama berjam-jam, harusnya berterima kasih sayang.” Ujar Pak Dokter sembari menasehatiku.

“ Rah, bisa aku bicara? Sebentar saja, hanya berdua denganmu? Jalan-jalan keluar mau? Ini ada kusi roda.” Ajak Asgaf.

“ Baiklah.” Asgaf pun membantuku berpindah kekursi roda, setelah itu mendorongku, entah kerah dan ketempat mana. Aku hanya terdiam, tak tahu apa yang ingin kukatakan hingga akhirnya dia memecah keheningan dengan pertanyaan yang menurutku bodoh.

“Kau sudah sembuh?”

“Menurutmu?”

“Ohyaya”

“Gaf?” panggilku.

“Iya Rah? Ada apa?” Jawabnya.

“Makasih yah sudah mau nolongin aku, kenapa mau nolongin aku? Bukannya kamu bahagia kalau aku sengsara yah?” tanyaku padanya

“ Aku menyesal Rah, untuk semua yang telah kulakukan kepadamu, maafkan! Aku baru menyadari kesalahanku ketika dendam menguasaiku waktu itu, masihkah terbuka pintu maaf untukku?” tanyanya sembari menatapku lekat-lekat.

“ Kau? Meminta maaf? Kepadaku? Hahaha kamu tidak sedang mimpi kan? Atau kamu sakit habis donorin darah?” tanyaku heran.

“ Rah, kali ini tolong jangan main-main. Aku benar-benar menyesal dan ingin meminta maaf. Aku melakukan semuanya karena aku pikir kau gadis baik yang pantas untuk bahagia.” Jawabnya serius

“Gaf, kaukah itu?” Ujarku sembari memegang pipinya.

“Auhh, jangan disentuh Rah! Sakitt.”

“Kenapa dengan pipimu? Sepertinya memar, kau habis berkelahi dengan siapa? Apa gara-gara aku lagi?” tanyaku penasaran.

“Sudahlah, aku hanya ingin meminta maaf, itu saja. Setelah itu, terserah padamu mau memaafkanku atau tidak.” Ujarnya sembari berjalan meninggalkanku.

“Asgaf tunggu,aku memaafkan kamu. Kita temenan yah?” Kataku sambil memberinya jari kelingking tanda pertemanan.

“Yah, kita berteman.” Lanjutnya, sembari mengaitkan jari kelingking kami.

Aku, Asgaf dan permusuhan telah berlangsung kurang lebih dua tahun dan saat ini tanpa debat, tanpa cekcok, tanpa omelan-omelan menggemparkan kami saling tersenyum tertawa dan bercanda. Apakah dunia memang seperti ini? Haruskah aku aku bahagia? Atau haruskah aku mengutuk diri karena telah menjadikan musuh sebagai kawan? Entahlah! Aku hanya mengapresiasi ketulusannya dalam meminta maaf, berterima kasih atas niat baiknya, dan sepertinya aku bahagia.

“Rah, aku anterin masuk kamar lagi yah? Kamu masih butuh istirahat, kangen sekolah kan?” tanyanya.

“Hahahaiya, kangen banget. Ngomong-ngomong Ahmad mana yah?”

“Enggak tau.”

“Ihaha kok bete’ gitu kalau bahas Ahmad?”

“Adduhh, cerewet banget sih bidadarinya gue! Masukyah, istirahat yang banyak, missyou gue pulang dulu.” Ujarnya sembari membawaku kedalam ruangan. Kemudian berpamitan pulang. 

“Dasar anak aneh.” Ucapku dalam hati. Segera kuperbaiki bajuku, tiba-tiba saja seperti ada yang mengganjal disakunya, entah apa ini. Segera kuraih sakuku, mengambil benda yang ada didalamnya, rupanya itu sebuah perahu kertas yang bentuk sudah tak beraturan. Mungkin karena tertindis olehku. Segera kubuka rakitannya dan membaca tiap kata yang terangkai.

Untukmu, yang saat ini tengah terbaring lemah didalam sana dengan banyak alat yang tak kumengerti, dan juga dikelilingi dokter beserta perawat berseragam serba putih, aku menyaksikanmu dari balik kaca, melihat wajahmu yang memucat, melihat matamu yang masih juga terpejam dan melihat sosokmu yang berbeda. Kapten Pkku, bertahanlah! Bertahanlah untuk orang-orang yang menyayangimu, bertahanlah untuk nenek yang terlampau tulus mencintaimu, bertahanlah karena skenario Tuhan belum juga mempertemukan kita dalam satu episode meskipun pada kenyataannya kita telah bersandiwara diatas panggung yang sama. Tapi, diam membuat peranku dan peranmu tak terlihat. Bertahanlah, aku ingin melihat senyummu lagi, aku ingin mendengar celotehmu yang memanaskan telinga, aku ingin memperagakan goyangan aneh yang kau ciptakan sendiri. Aku merindukan kebersamaan yang hangat denganmu. Diluar sana hujan, aku tahu kau suka hujan karena dengan hujan akan ada banyak genangan air diselokan sekolah, dan disitulah kesempatanmu melayarkan perahu kertas yang selalu menjadi ciri khasmu, kamu aneh tapi itu yang membuatku mencintaimu! Bangunlah, bangunlah, mari kita layarkan perahu ini bersama-sama, merangkai tawa dalam rintik hujan, menari diatas rumput basah dan menengadahkan wajah kelangit hingga anugah Tuhan menusuk wajah dengan lembut, aku ingin melukis pelangi bersama jemarimu, meraih nila melalui rasamu, merangkai kata menjadi sajak merah jambu. Bisakah kau membuka mata? Untuk sekedar menyaksikan keberadaanku disini,untuk mengenali sosokku yang sebenarnya? Bisakah kau kenali aku dalam nyata, bukan dalam imajinasi dan fantasi. Aku mengkhawatirkanmu, cepat sembuh kapten Pkku{} –IA-

Dan dia lagi, penyemangat rahasia yang selalu saja hadir dikala kesulitan dan kesakitan mendera. Kuamati tiap kata yang terangkai, maknanya begitu dalam, tak terasa air mataku menetes, sebenarnya dia siapa? Sedalam itukah mencintai gadis aneh sepertiku? Dia bahkan tahu aku suka hujan, aku suka melayarkan perahu kertas diselokan sekolah dan yah dia tau banyak tentangku yang selalu bersembunyi dibalik topeng keceriaan. Andai waktu itu aku dapat membuka mata dan menyaksikan sosoknya dari balik jendela, andai saja waktu itu aku mendapati sosoknya yang benar-benar nyata. Kapankah episode itu tiba? Pertemuan nyata dengan sipemilik sajak penyemangat, kapankah Tuhan menuliskan skenario dialog perkenalan diantara kami dengan pertemuan yang nyata? Aku sama sekali tak tahu dia siapa, terlalu abu-abu sosoknya dalam nalar, terlalu klise jika harus diembankan pada satu nama, aku hanya merasa bahagia dapat dicintai olehnya, walaupun dalam diam dan rahasia.

                                                                            BERSAMBUNG




Sumber gambar:  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEir4fBXYBIkBIAcPcInjIeNCMkn_nFtU6wIZTOudpdN2xt8s0HfzKWNLbqVuo1e5cOniO6iHCigutyaJfAsGOYS97rpMxg0f_pmRj_SGFFMioanlpmiMFrbfvG_CiBmFP-mEsl1YH5AndM/s1600/Kata+Kata+Cinta+Segitiga.jpg



Post a Comment