by: Salsabillah |
#Asgaf Ammar
“ Gaf, dia Ahmad? Gaf, dia meninggalkanku? Gaf, apa salahku?” Ucapnya dengan derai air mata dan langkah yang mencoba mengejar Ahmad.
“ Sudah, tidak usah dikejar Rah, dia mungkin hanya butuh waktu untuk sendiri. Jangan kamu masukin di hati kata-katanya Ahmad. Dia hanya sedang emosi dan tidak dapat mengontrol diri. Mana mungkin dia tega gituiin kamu, sudah hapus air matamu.” Ujarku seraya memegang tangannya, hingga langkahnya kembali terhenti.
“ Tapi, Gaf...”
“ Aku bilang sudah Rah, bocah kayak dia enggak pantes kamu tangisin.Jangan sedih, kan ada aku disamping kamu. Aku tidak akan meninggalkanmu Rah, kita bisa mulai semuanya dari awal.” Ujarku, sambil menggenggam kedua jemarinya.
" Maksudmu? aku sama sekali enggak ngerti Gaf” Tanyanya dengan wajah kebingungan dan tatapan penuh tanya.
“ Aku menyukaimu Rah, sudah sejak dulu. Tapi, kau selalu menutup diri, menganggapku musuh dan tak pernah memperhatikan tatapan apa yang kupunya ketika perdebatan-perdebatan kecil tercipta diantara kita. Jujur saja, kebencian itu perlahan menghadirkan kerinduan, bagiku memperdebatkan masalah kecil denganmu, membuatmu marah, membuatmu malu adalah kebahagiaan kecil yang selalu aku rindu, mencintaimu dalam diam awalnya kukira mampu membuatku tetap bahagia, akan tetapi aku salah. Kedekatanmu dengan Ahmad, mengundang cemburu dan aku tak bisa selalu bersembunyi dalam topeng rahasia.”
“ Apa katamu? rahasia? diam? mencintaiku? apakah kau yang selama ini mengirimkan perahu kertas untukku? benarkah itu kau? Jawab Gaf!” tanyanya dengan mata berbinar dan mendung dipelupuk matanya.
Tatapan penuh harap terlukis jelas dari balik hujannya yang mulai menderas, haruskah aku berbohong untuk melukiskan pelangi? haruskah aku mengakui hal yang nyatanya bukan aku? Tetapi, aku tidak mau mengecewakan gadis dihadapanku, apa yang harus kulakukan? Aku terlampau mencintainya, terlampau takut kehilangannya dan terlampau ingin memiliki perempuan ini sepenuhnya.
“ Gaf, kenapa kamu diam? aku mohon jawablah? Sudah sejak lama aku mencari sosoknya yang begitu rahasia, aku hanya ingin tahu sosok dibalik sajak indah yang selalu sukses membuatku tersenyum sepanjang hari, aku aku sudah tertatih-tatih berkelana mencari dia yang bersembunyi dalam diam. Aku kebingungan, kukira aku gila, kukira dia hanya fantasiku yang terlalu tinggi, akan tetapi perahu kertas berada digenggamanku dan ini nyata Gaf.” Tampak air matanya semakin deras, mengaliri setiap lekuk-lekuk diwajahnya, bibirnya juga turut terkena aliran air matanya, dia terisak diantara kata yang berusaha diutarakannya. Begitu berartikah sosok itu bagi Inara? mungkin sepertinya, IYA!
“Rah..,” panggilku, memecah keharuan yang sudah sedari tadi diciptakannya.
Namun, dia hanya diam, sibuk dengan isakannya, sibuk dengan hujan di pelupuk matanya yang belum juga mereda. Sekali lagi kucoba memanggil namanya, tetapi bukannya menjawab panggilanku, dia malah memelukku dan melanjutkan tangisnya. Tangisannnya beradu dengan nafasnya yang semakin memburu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya begitu membingungkan. Kupejamkan mataku, membiarkannya dalam pelukan.
Kurasakan basah dibahuku, apa yang harus kulakukan Tuhan! Haruskah memanipulasi kenyataan? Haruskah berbohong untuk sebuah senyuman?kueratkan pelukanku, mencoba memberikannya tempat ternyaman untuk sekedar melepas haru dan duka karena sebuah rahasia.
“ Rah, ayo kita pulang. Kau butuh istirahat, sini kuantarkan pulang.” Ujarku sambil memapah tubuhnya yang semakin lemah.
“ Tapi, Ahmad bagaimana Gaf?”
“ Sudahlah, dia laki-laki dan dia tidak mungkin berbuat aneh-aneh. Tidak usah pikirkan Ahmad, fikirkan kesehatanmu Rah. Aku tidak mau melihatmu seperti ini lagi, ada banyak orang yang merindukan senyummu. Sudah, ayo kita pulang.”
“ Baiklah.”
Aku melihatnya dengan wajah pucat lagi, dengan mata yang membengkak karena isakan, wajahnya masih melukis mendung, pelanginya juga belum nampak, miris rasanya menyaksikan air matanya tumpah didepan mataku sendiri, namun disisi lain aku bahagia, dapat kembali memeluknya, merasakan kehangatan cinta itu lagi, dan kembali menjadi pahlawan ketika skenario Tuhan menempatkannya diposisi bersalah.
++++++++++++
#Inara Abiid
“ Rah, aku pulang dulu yah? Kamu istirahat yang banyak, langsung tidur ya?” ujar Asgaf, sebelum membalik motornya dan pergi meninggalkanku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kepalaku rasanya sakit sekali, ada sosok yang memenuhi kepalaku, memaksaku berfikir keras tentang dirinya yang seketika berubah. Kuraih tasku, mencari selembar kertas, lalu mulai menulis.
"Tuhan, hari ini aku banyak meneteskan air mata, aku ingin bercerita tentangnya yang kini entah sedang berada disudut duniamu yang mana, namun aku terus saja memikirkannya. Dia sahabatku Tuhan, sahabatku yang paling kucintai. Sosoknya begitu berharga, yah sangat-sangat berharga. Aku ingin mengucapkan maaf untuk setiap kata yang mungkin menggores hatinya, aku ingin mengucap maaf untuk nada suaraku yang terlampau tinggi hingga membuatnya tak bisa mengontrol diri. Aku disini, memandang langit yang mulai mengorange, memperagakan kebiasaan kita yang sering make a wish ketika mentari mulai terbenam, dan hari ini kupejamkan mataku berharap dia kembali, dan menuai bahagia lagi denganku, gadis yang menurutnya aneh dengan dunianya yang gila. –AA-
Segera kurakit lembaran itu menyerupai pesawat kertas, menerbangkannya sejauh yang aku bisa. Kemudian melangkahkan kaki memasuki rumah, kemudian mengistirahatkan tubuh dan jiwa dari hari yang sangat menyita lelah.
BERSAMBUNG
Post a Comment