CERBUNG "INARA" part 8






by: Ira Wahyuni Salam



“ Assalamualaikum.” Ujarku, sembari mengetuk pintu.

Tak ada jawaban, kuketuk lagi untuk kedua kalinya. “Assalamualaikum..” Namun, tak kunjung terbuka.

Sepertinya sedang tidak ada orang dirumah ini, pintunya terkunci, sunyi dan yah mungkin memang sedang kosong. Mungkin saja Ahmad sedang berada disekolah, yah mungkin, pikirku.

Tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya keluar dari rumah Ahmad, wajahnya lesu, dasternya kusut dan rambutnya acak-acakan.

“ Cari siapa Neng?” tanyanya.

“ Ada Ahmad Bu’? saya temannya.” Jawabku dengan senyum

“ Ahmad? Lagi dirumah sakit Neng, kemarin dia habis dikeroyokin geng motor. Orang rumah sedang dirumah sakit semua, karena yang saya dengar sih, dia kritis. Terlalu banyak pukulan dibagian dada dan kepala. Ahmad sempat melarikan diri, tapi yah begitulah geng motor sangarnya bukan main Neng, mirip diberita-berita gitu.” Jelasnya.

Rasanya ada yang menghantam dadaku bertubi-tubi, menusuk-nusuk relungnya hingga terasa perih, kurasakan retak, perlahan mendung mengkabuti pelupuk mataku, mengahadirkan gerimis yang cepat-cepat kuseka.

“Ap...paaa? kritis?” “Dia dirumah sakit mana?” aku sudah tak sanggup menahan sesakku, semuanya turut jatuh bersama gerimis yang menjelma menjadi hujan.

“ Saya tidak tahu Neng, tapi masih di Jakarta sih.”

“ Tolong katakan, dia dimana? Tolong, beritahu saya, saya.., Ahmad..” Kuguncang-guncang sosok dihadapanku, memaksanya berbicara. Hingga tak kusadari, wajahku telah basah, kerundungku acak-acakan, aku hanya, tak percaya dengan apa yang kudengar dari bibirnya.

“ Ibu dan bapak sudah datang, itu mereka.” Ujarnya sembari menunjuk sedan putih yang memasuki pekarangan. Aku segera bangkit, mencoba mengokohkan kaki, menyapu genangan air di lekuk wajahku dengan jilbab.

Kulihat, Ibunya keluar dari mobil dengan wajah yang tak terdeskripsi, dia menutupi mulutnya dengan kerudung, berjalan menuju pintu rumah dan berkata pada wanita disampingku, “ Jenazahnya tiba pukul 11:00. Persiapkan semuanya.”

Dia kembali melanjutkan langkahnya, terlihat jelas ekspresi kesedihan dan duka yang teramat dalam, dia baru saja merasakan kehilangan, yah kehilangan seseorang yang teramat dalam dicintainya.

Mataku terbelalak, siapa yang meninggal? Segera kususul wanita itu kedalam, aku tak perduli dengan apapun, yang ingin kutahu saat ini adalah Ahmad, dia dimana.

“ Tante tunggu..,” panggilku.

“ Ada apa? Sudah kukatakan, jenazahnya tiba pukul 11:00. Bisa tinggalkan aku sendiri? Ini menyakitkan.” Dia kembali menangis, sampai menjatuhkan dirinya sendiri diatas rangkaian ubin yang kebiru-biruan.

“ Siapa yang meninggal tante?”

Dia menatapku dengan senyum, meski wajahnya masih sibuk dengan hujannya yang menderas “Jangoanku, anak kebangganku.” Dia memelukku erat, dan kembali menangis.

“ An..,nak tante? Maksud tante Ahmad?”tanyaku. masih tak percaya jika sosok yang berpulang adalah dia. Tapi, yang kutanyai masih terisak, tubuhnya semakin memelukku erat, dan perlahan menganggukkan kepalanya,tangisnya kembali memecah nalarku masih sulit menerjemahkan semua ini.

“Ahmad tante? Dia...,” tak lagi mampu kulanjutkan ucapanku, hatiku kalut. Secepat itukah? Sahabatku, dia sudah pergi, jauh meninggalkan retakan dalam hatiku. Rasanya begitu menyakitkan, rupanya berdebatan kemarin adalah hari terakhirnya, tapi apa yang kuberikan?

Kini, aku yang memeluk ibunya erat, menghujani wajahku bertubi-tubi, semalam kami bertemu dalam mimpi, apakah itu isyaratnya? Entahlah! Senyumnya terngiang jelas dalam benakku, wajahnya kala  menyimak ceritaku yang tak kunjung usai, juga raut kecewa yang dia tunjukan ketika dia kupaksa meminta maaf kepada Asgaf, semuanya, membuatku teramat dalam larut dalam tangis, aku belum ingin mengakhirinya, tapi Tuhan menyudahi lebih dulu skenario Ahmad, menyudahinya dengan begitu tiba-tiba.
++++++++








Terdengar suara serene abulance, kulihat mobil putih itu sudah sampai tepat didepan rumah Ahmad, orang-orang berdatangan, bahkan dari pihak sekolahpun telah hadir, semuanya, ibu guru, teman-teman, bahkan satpam galak itu. Rasanya aku tak bisa berada ditempat ini, terlalu menyakitkan menyaksikannya terbungkus kafan, aku mencintainya Tuhan, mengapa begitu cepat mendepaknya dari panggung? Argh, aku kembali memasuki rumah, mencoba menangkap wajahnya untuk yang terakhir kalinya, aku ingin pergi selepas ini, aku tak sanggup, aku terlalu rapuh untuk semuanya.

Aku melihatnya, dengan wajah pucat, dihiasi lebam-lebam diwajahnya, sudut bibirnya menyiratkan bekas luka. Kudekati sosoknya, dia dingin, seperti hujan semalam, tubuhnya kaku, seperti pembawaanya didepan orang yang baru dikenalnya, tak ada senyum disana, kugenggam erat jemarinya yang beku layaknya es memberinya senyum termanis walau sudut mataku telah menjatuhkan beningnya, aku menyeka air mataku. Ahmad tidak suka melihatku menangis, kuusap pelan kepalanya, mengucap maaf berkali-kali dalam hati, kemudian memberi kecupan dikeningnya yang tak lagi hangat. Seperti ketika dia menyuruhku memegangnya, memastikan dia tidak demam sewaktu kita berjalan pulang sambil hujan-hujanan, hahah Ahmad ada banyak momen yang membuatku akan sulit melupakannya.

Dia, hujanku dibulan November. Aku tak peduli dengan orang-orang yang menyaksikanku, aku sama sekali tak peduli, dia sahabatku dan dia pantas untuk itu. Segera kubangkit dari dudukku, meminta izin untuk pulang lebih awal, aku tak sanggup, dia terlalu indah untuk turut dalam tanah. Aku.., aku.., sedang rapuh dan ingin berteman dengan sepi saja.

“ Rah, mau kemana? Enggak ikut ke pemakaman?”Ujar suara yang membuat langkahku terhenti.

“ Haii Gaf, aku terlalu sakit untuk itu.” Jawabku dengan senyum seadanya.

Dia menghampiriku, menatapku tanpa jeda kemudian memecah sunyi yang dia ciptakan, “Aku tahu, kau sangat terpukul. Tapi, ini kenyataan Rah. Kau harus kuat.”

“ Bagaimana mungkin aku bisa Gaf? Kami bersahabat hampir 3 tahun lamanya, melewati banyak hari bersama, dia selalu punya cara membuatku tersenyum, walau terkadang terlalu kaku untuk kusebut dengan candaan, dia pendengar yang baik, setidaknya untuk ceritaku yang tak punya ujung untuk usai, dia hartaku yang kini dirampas Tuhan dengan begitu cepatnya, aku belum membuatnya bahagia Gaf..,”

Dia menarikku, mengambil sepeda motornya, dan menyuruhku naik d boncengannya. Aku menurut saja, fikiranku masih tak karuan dan Asgaf, tidak mungkin membawaku kabur, apalagi menculikku dan merahasiakan keberadaanku seperti penculikan-penculikan yang biasa kulihat di TV.

“Kita mau kemana Gaf?”

“ Diam saja disana.”

“Baiklah.”

Aku disini, bersama Asgaf. tetapi fikiranku masih tentang dia disana yang terbujur kaku dengan dingin yang menyergap semua bagian tubuhnya, sebentar lagi dia akan memasuki rumah barunya persegi panjang sedalam 2 meter, tanpa lampu, bahkan tak ada remang-remang sekalipun. Tapi, dia lelaki yang hebat! 5 waktunya rutin, tilawahnya meneduhkan hati, dan aku percaya dia akan bahagia dalam rumah barunya. Aku kembai tersenyum, menatap langit, memejamkan mata dan berdo’a.
++++++











“Gaf, apa maksudmu mengajakku ketempat ini? sudah kubilang aku tak bisa.” Aku kembali menaiki motornya, memunggungi lawan bicaraku.

Diam mendekat, memegang pundakku. Berusaha menguatkan hatiku yang rapuh. “ Rah, kau ini sahabatnya. Ahmad pasti senang jika kau antarkan dia kerumah barunya. Sudahlah, ikhlaskan. Tuhan selalu punya cerita dibalik cerita. Fungsikan otak gilamu.”

“ Maksudmu otak gila? Jadi selama ini aku gila?” alisku naik turun seirama dengan nada suaraku yang meninggi.

“ Jangan marah disini Rah, nanti penghuninya bangun, terus marah, terus datengin kamu pas tengah malem, auuuuuu” Ujarnya menakut-nakuti

“ Aku bukan anak kecil lagi Gaf, caramu basi!”

“ Hahhahaha aku hanya ingin menghiburmu, itu saja.” Dia berjalan kearah pemakaman hendak meninggalkanku.

Kurasa sikapku keterlaluan, seharusnya aku menghargai usahanya meski itu sama sekali tak lucu.

“Gaf..,”

Dia kemudian menoleh. “ Ada apa?”

“Aku ikut.” Ujarku sembari berlari kearahnya.

Mungkin memang seharusnya seperti ini, untuk apa aku takut. Tapi, pobia itu kembali mengambang difikiranku, aku bukannya tidak mau atau tidak sanggup. Melainkan pobia membatasiku, pobia membuatku menyimpan sejuta ketakutan, yah meski yang terbungkus adalah sahabatku sendiri.

“ Rah..,” Tiba-tiba suara itu memecah lamunanku.

“ Iya Mad?” Ujarku spontan. “ Eh, maaf! Maksudku, Gaf..” ulangku,sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.

Diam hanya mengangguk, menatap jauh dan akhirnya mendapati apa yang sedari tadi ditunggu. “Heiii, mereka sudah datang. Ayo, berdiri Rah, beri jalan untuk Ahmad.” Dia menarik tanganku, hingga akhirnya posisiku sekarang berdiri.

“Gaf, aku mau pulang.” Aku terus menarik seragamnya, memaksanya untuk mengantarkanku pulang.

“Haii, kau kenapa? Mereka baru datang, dan jenazah Ahmad belum dikuburkan. Enggak sopan Rah kalau kita pulang sekarang. Sudahlah, ikuti saja sampai pemakamannya selesai. Palingan 15 menitan. Mau buat Ahmad kecewa?"

Aku hanya menggeleng, menepis hipotesis-hipotesis yang sedari tadi sudah memenuhi ruang kepalaku. Aku seperti sedang berada diujung jurang. Sedikit saja aku melakukan kesalahan, bukan hanya ketakutan yang kurasa, tapi juga kesakitan. Aku harus apa? Segera kuraih jilbabku, merangkainya seperti sedang memakai cadar. Kemudian mengambil nafas panjang dan menyakinkan diri, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
++++++



Arghhh,kayak pengen nangis,kebayang gitu gimana rasanya kehilangan sahabat yang bahkan kamu sendiri tak pernah berfikir unk hal itu,mungkin memang benar tidak ada yang abadi didunia ini semuanya adalah fana.

Lantas gimana kelanjutan cerita ini?gimana persahabatan Inara dan Ahmad?apakah kisahnya usai?tunggu bagian berikutnya😊

Post a Comment