CERBUNG "INARA" part 11



Beberapa bulan kemudian, (Ujian Akhir Nasional)

" Rah, gimana ujiannya? Lancar?"

" Hei Gaf, alhamdulillah lancar. Kamu?"

"Lancar juga. Rencana lanjut dimana Rah?"

" Mmm, mau kesulawesi ikut nenek. Dia kan punya proyek disana. Kamu dimana?"

" Jakarta ajah. Rah, kok jauh? Kenapa bukan disini saja?"

"Hahha, terlalu banyak kenangan ditempat ini. Aku butuh suasana baru Gaf."

"Kalau kamu pergi siapa yang nemenin aku Rah?" raut wajahnya berubah menjadi sedih.

"Kan ada sosmed. Kita bisa WA, Line, Bbman, Skype dan aku yakin kamu bisa cepat dapat teman baru. Eh, jalan yuk. Besok aku sudah ke Sulawesi, aku mau menghabiskan hari bersama kamu. Sebagai bentuk terima kasih kerena telah menajdi temanku. Mau tidak?" kembali kurayu dia, mecolek hidungnya berkali-kali. Tapi dia hanya terdiam.

" Apa selama ini aku hanya sebatas teman bagimu?" tanyanya tiba-tiba.
"Gaf.."

"Jawab Rah, apakah aku perlu menjadi Ahmad untuk kau anggap lebih dari sekedar teman? Apakah perlu aku operasi plastik agar mendapatkan cintamu. Rah, aku.. aku.. telah menunggu lama untuk ini."

"Kau tidak perlu menjadi siapa-siapa Gaf. Aku menyayangimu seperti aku menyayangi Ahmad. Dimataku kalian memang punya tempat yang berbeda. Tapi,punya kedudukan yang sama."

"Aku mencintaimu, tidakkah kau sadari itu?"

"Aku menyadarinya."

"Tapi kenapa?"

"Aku..."

"Kau mencintai Ahmad? Buka matamu Rah, dia sudah mati. Apakah yang kau tunggu dari orang yang bahkan sudah menyatu dengan tanah. Sudah 6 bulan setelah kepergiannya dan kau belum juga bisa lupa. Buka mata dan hatimu Rah, dia sudah tidak ada."

"Bisakah kau bicara dengan kata yang lebih sopan?dia bukan binatang yang bisa kau sebut dengan kata mati. Biarpun dia sudah menyatu dengan tanah, tapi jiwanya masih tetap disini, dhatiku. Dan selamanya akan tetap seperti itu. Sudahlah, aku tidak ingin berdebat tentang ini lagi. Aku hanya ingin menghabiskan hari denganmu. Jika kau keberatan yah sudah, aku pulang." Dia kembali memojokkan Ahmad, seolah-olah. Argh, aku benci semua hal yang terkesan menjatuhkan Ahmad.

"Tunggu Rah,," panggilnya.

"Apa lagi?" jawabku dengan wajah yang begitu muak.

"Katanya mau jalan?" ujarnya sambil menyalakan motor dan mendekat kearahku.

"Kau ini, hahaha ayo. Kita mau kemana?" tanyaku sambil naik diboncengannya.

"Rahasia dong,"

"Hahhahahhaa" Tawaku dan tawanya, beradu dengan hembusan angin sore yang meneduhkan.
Asgaf, lelaki itu meskipun sering membuatku kesal dengan pernyataan-pernyataannya, tetapi selalu punya cara membuatku tersenyum. Aku bahagia mengenalnya. Meski tak sesempurna Ahmad, tapi dia adalah orang kedua yang mencintaiku dengan begitu tulusnya.

"Kenapa kepemakaman Gaf?" tanyaku heran.

"Kita kunjungin Ahmad dong. Enggak rindu?"

"Heheh rindu sih. Bagaimana kalau kita habiskan hari terakhirku di Jakarta bareng Ahmad juga. Bagaimana?" ujarku dengan antusias.

" Bagaimana yah, terserah kamu. Asal kamu senang senang. No problem." Jawabnya dengan senyum.
Lekas, kudekatkan tubuhku kegundukan tanah bernisan itu, menyanyikan lagu kesukaan kami. Lagu-lagu karya Om Iwan Fals.

Kupandangi langit, melihat senja yang mulai kemerahan, mengingat kali terakhir kami menatap langit senja bersama, kali ini momen itu terulang meski alam kami telah berbeda. Aku percaya dia ada disampingku, duduk dengan posisi kaki bersila, make a wish ketika perlahan matahari lenyap ditelan waktu. Kupejamkan mataku, mengucap wish dalam hati. Dan kembali tersenyum. Kukira dia sudah pergi, rupanya Asgaf masih disana, memandangku tanpa jeda. Sampai aku dibuatnya tersipu malu. Untuk kali pertama, dia tampak begitu memukau. Tarikan senyumnya sempurna, gingsulnya tampak ketika dia mengukir senyum, aku baru menyadari bahwa sosok yang kuabaikan berkali-kali, selain punya cinta yang tulus juga punya rupa yang begitu menawan.

"Gaf, ayo pulang. Sudah magrib." Ajakku.

" Tunggu Rah." Dia mendekat ke nisan Ahmad, mengambil posisi jongkok dan mencoba bercakap dengan pemiliknya.

"Ahmad, maafkan aku jika sering membuatmu marah karena ulahku, aku minta maaf kawan. Tapi, kali ini aku benar-benar jatuh cinta pada perempuanmu. Dan jika kau mengizinkan aku memilikinya, aku akan menjaganya, menjaganya semampu yang aku bisa. Aku tidak akan melukainya. Aku berjanji padamu." Dia kemudian bangkit, dan berjalan kearahku. Seperti tidak terjadi apa-apa, seolah-olah dia menganggap aku tak mendengarnya, dia menarikku menuju motornya, kemudian kami meninggalkan pemakaman dan menepi disebuah mesjid kecil yang tak jauh dari pemakaman Ahmad.

"Ayo kita sholat." Ujarnya.

"Ah? Baiklah." Jawabku.

Kamipun berpisah ditempat whudu. Tempat ini terlalu kecil untuk disebut dengan nama masjid. Mungkin lebih tepatnya, Mushallah. Hanya ada sehelai kain sebagai penanda batas antara kaum adam dan hawa. Baru saja ingin kumulai sholatku, Asgaf mengatakan untuk berjama'ah dengannya. Dan yah aku tidak bisa menolak, aku hanya mengangguk pelan dan mengikuti setiap gerakan yang diperagakannya. Ada yang berbeda dengan hatiku, perlahan laju getaran itu semakin kencang, persis ketika Ahmad berada disampingku. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Atau hanya kekaguman semata. Entahlah, gerakan salam telah usai, baru ingin kulepas mukenah yang kukenakan Asgaf menatapku dengan begitu anehnya, dia memintaku untuk kembali duduk. Dia menyodorkan tangannya, "apa?" tanyaku bingung.
"Salim dong, kan aku imamnya tadi." Jawabnya.

"Yowweslah." Ujarku sambil melakukan apa yang diucapkannya.

"yah begitu dong. Istri yang berbakti. Hahahhaahaha." Dia tertawa sambil melepas pecinya.

Aku hanya tersenyum. Mengamini dalam hati ucapannya.

"Rah..," panggilnya.

"Ada apa?" jawabku.

"Mau tidak jadi pacarku?" ucapannya sontak membuatku kaget.

"A?aku? jangan bercanda Gaf. Hahahaha" kucoba menetralkan hatiku sendiri dengan tertawa.

"Aku sungguh-sungguh. Mungkin ini terakhir kalinya, sebelum kita benar-benar berpisah. Aku sudah berjanji pada Ahmad akan menjagamu. Apakah belum juga ada ruang untukku dihatimu?" wajahnya semakin terlihat serius.

"Aku..,juga mencintaimu. Sejujurnya iya, aku mencintaimu. Hahahhahaaha" aku kembali tertawa menutupi wajah yang merah karena malu.

"Apa Rah? Aku tidak dengar, Cuma ketawa kamu yang kedengaran. Tadi kamu bilang apa? Ulang lagi dong." Godanya.

"Hei, tau ini tempat apa? Tidak ada siaran ulang. Salah sendiri, punya kuping tidak dipergunakan dengan baik. Huuuuu..." kuberlari keluar mushollah menuju motornya yang terparkir. " Hai kamu, mari pulang."
"Yakin mau langsung pulang?" tanyanya.

"Memangnya kamu mau kemana?"

"Mmm, pasar malam. Mau?"

"Hahaha ayukkkkk."

++++++++++++++++++++++++++++

Kebayang enggak sih kalau mereka pacaran? Ketebak yah?





sumber gambar:  https://www.google.co.id/search?q=animasi+boncengan&safe=strict&client=ucweb-b&channel=sb&biw=360&bih=588&tbm=isch&ei=4YGWXNrAL63Tz7sP792BqAE&start=0&sa=N#mhpiv=12&spf=1553367525215

Post a Comment