CERBUNG "INARA" part 12
-
Monday, March 25, 2019
-
No comments
Langit kota Jakarta hitam, kosong, tanpa bintang. Walaupun demikian, pasar malam terlihat begitu ramai, maklumlah ini malam minggu. Kami menyusuri setiap sudut dengan tertawa, Asgaf membelikanku gulali, dan balon, rasanya aku seperti anak kecil saja. Tapi, seperti inilah bahagia. Dia memang bukan cinta yang pertama, namun dengannya aku merasakan bahagia yang belum pernah kurasakan sebelumnya, bahagia yang tak terbatasi oleh tembok bernama persahabatan. Langkah kaki beradu, senyumku tak luntur meski keringat telah bercucuran karena sesak oleh lautan manusia. Kincir angin? Permainan itu mengingatkanku kepada bocah pesawat terbang, teman semasa kecil yang kini entah tengah berada disudut bumi mana. Saat nenek dan Ibunya mengajak kami kepasar malam, aku sangat ingin naik kincir angin, tetapi bocah itu menolak. Aku bertanya, kenapa? Dia hanya diam. Lalu kutarik paksa dirinya, memaksanya untuk menemaniku menaikinya, kami duduk dikotak yang sama, yah hanya berdua. Aku terpukau dengan pemandangan kota dari atas, kerlap-kerlip lampu, membentuk panorama yang indah. Aku menoleh pada sosok disebelahku, dia gemetar, matanya menangis, genggamannya ditanganku begitu erat. Aku hanya memandangnya heran “cemen sekali laki-laki ini.” pikirku. Hingga ketika putaran terhenti, dia lekas-lekas keluar dan memuntahkan semua isi perutnya. Sepulangnya, dia demam berhari-hari. Hahhahaa, bocah itu, apa kabar yah dia.
“Rah, kok ngelamun? Pengen naik itu?” tanya Asgaf mengangetkanku.
“Ah? Maksudmu kincir angin? Mmm, gimana yah?mmmmm...” jawabku sok berfikir.
“Aduh kelamaan, ayoolahhh.” Dia menarik tanganku, aku hanya tertawa. Dia pintar, menebak isi kepalaku.
Kami lalu memasuki kotak yang sama, dan lagi-lagi hanya berdua. “Hei itu orang mau naik kenapa langsung ditutup?” tanyaku.
“Aku ingin berdua denganmu. Ini malam pertama sekaligus terakhir kita bisa bersama sebagai kekasih. Tidakkah kau mau membuatnya berkesan dengan memberiku waktumu? Malam ini saja, berdua denganku.” Jawabnya dengan wajah yang begitu serius. Aku tak bisa berkata-kata lagi selain mengangguk dan menyuguhkan senyum. Mungkin Asgaf benar, ini adalah malam terakhirku di Jakarta.
Kotak mulai berjalan, berputar mengikuti porosnya. Aku berdiri, melihat kota dari atas, tidak kalah indah dengan suasana kota Maros 7 tahun yang lalu. Aku tersenyum, kali ini aku benar-benar merindukan bocah itu.
“Indah yah..” Tiba-tiba Asgaf turut berdiri disampingku.
“ Iya, meski langit tak berbintang, tapi dibawah sana. Hahhaa sangat indah.”
“Yah, seindah dirimu.” Tangan kirinya mulai merangkulku. “Hari ini, Tuhan memberiku bidadari yang sangat cantik, bahkan cahayanya lebih terang dari pijaran lampu dibawah sana. Tuhan, memberiku bahagia berupa wanita gila, yang nyatanya begitu hangat. Aku mencintaimu." Lalu, memelukku dengan begitu erat.
“Gaf..”
“Ada apa sayang?” dia melepaskan pelukannya dan menatapku, tatapan itu, menghangatkan hatiku yang beku.
“Berjanjilah untuk tetap tinggal meski nanti jarak memisahkan kita. Berjanjilah untuk tetap setia meski aku tak berada disampingmu, berjanjilah untuk tidak menyakitiku, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, meski baru kusadari sekarang, tapi rasa ini begitu besar dan hanya untukmu.” Tak terasa air mataku menetes, aku sudah mulai takut kehilangan lelaki itu, yah hanya dia yang mencintaku dengan begitu tulus setelah Ahmad.
“Sudah jangan menangis sayang, tanpa kau minta pun aku akan melakukan hal itu. Aku mencintaimu, kau wanita pertama yang memperkenalkanku akan setia. Aku memang terkenal suka mendekati banyak wanita, tapi tak ada satupun dari mereka yang kujadikan pacar, karena hanya kau yang pantas untuk itu. Suatu saat nanti kita akan mengubahnya sayang, kita akan mengganti huruf p menjadi i, huruf a menjadi s, huruf c menjadi t, huruf a menjadi r dan yang terakhir huruf r menjadi i. Tebak jadinya apa?”
“Mmm, tungguu! p,i.., Aha! Aku tahu.Huhuhuhu..” jawabku dengan senyum menggoda.
“Jangan sotoi..” Dia mulai nakal, menarik hidungku dengan begitu kerasnya.
“Enggak sotoi, istrikan?hahahaha” kuarahkan tanganku yang menyerupai bentuk pistol, menembaknya sambil tertawa.
“Hahahaha, iya. Aku serius Rah. Kita akan sama-sama bekerja keras untuk cita-cita. Dan ketika semuanya telah terwujud. Aku sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, aku akan melamarmu. Aku berjanji.” Kini suasanya berubah menjadi serius.
“Benarkah apa yang kau katakan? Jangan membuat janji yang tidak bisa kau tepati Gaf, jangan buat aku terlalu banyak berharap jika memang tak ada niat untuk itu. Terkadang perempuan butuh implementasi bukan sekedar ucapan. Semuanya bisa mengatakan apa saja, tapi melakukan apa yang diucapkan, tak banyak orang yang punya komitmen kuat seperti itu.”
Hening, suasana berubah menjadi hening. Asgaf menatapku tanpa jeda, seolah mencari jawaban dari balik bola mataku, perlahan wajahnya mendekat, kurasakan hangat dibibirku, aku terjebak, terperangkap dan hanya mampu memejamkan mata. Jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari biasanya, apa yang dilakukan lelaki ini, begitu mendadak dan aku, aku hanya bisa pasrah oleh keadaan. Kukira, semuanya usai, kukira kebodohan ini sudah berakhir. Kurasakan lagi hangat di keningku, kali ini lama, lama, lama dan lamaa. Tapi, aku menyukainya, rasanya begitu nyaman. Bukan tentang nafsu yang tinggi, melainkan cinta, yah cinta yang disalurkannya melalui titik hangat itu. Kurasakan mataku kembali mendung, tak terasa tetesan itu hadir lagi, membasahi tiap lekuk demi lekuk wajahku, kurasakan tangan hangat kembali menyekanya. Kubuka mataku, dia tersenyum. Akupun membalasnya dengan tersenyum.
“Rah, kau tau apa arti ciuman tadi?” tanyanya.
“Kau kurang ajar. Memanfaatkan situasi, aku bisa apa?” jawabku sedikit marah dan kecewa.
“Aku hanya tak ingin kehilanganmu, jadi aku melakukannya. Maafkan aku karena sudah lancang, aku tidak pernah punya niat untuk merusak. Aku mencintaimu, dan akan menjagamu. Hingga nanti, sampai kau sah menjadi milikku. Jangan takut, aku tidak akan macam-macam. Itu yang pertama dan terakhir kalinya. Percayalah.”
“Terserah padamu. Aku marah.” Jawabku, diikuti dengan dibukanya pintu kotak. Aku lalu melangkah meninggalkannya.
“Tunggu, aku bisa menjelaskan semuanya. Maafkan aku.” Teriaknya sambil berlari mengejarku.
Hujan turun dengan begitu derasnya, seolah tahu apa yang ingin kulakukan, aku berhenti.Lalu menengadahkan wajahku kearah langit, merasakan tiap butirnya yang jatuh. Apa yang sudah kulakukan?
Aku menangis, menyamarkan tetesanku yang tak kalah derasnya dengan hujan. Dia mendekat, menarik tanganku menaiki motornya, lalu kami meninggalkan pasar malam, dan karena hujan yang terlampau deras, akhirnya kami berteduh didepan warung yang sudah tutup. Maklumlah ini sudah jam 10 malam.
“Aku bisa menjelaskannya. Tolong dengarkan aku.” Dia mulai membahasnya lagi.
“Apa? Kau tahu, itu hanya milik suamiku. Dan dengan lancangnya kau renggut apa yang menjadi hak dari lelaki masa depanku. Kau jahat Gaf.” Aku kembali terisak, namun tersamarkan oleh suara hujan yang begitu deras.
“Maafkan aku. Aku berjanji akan menebus semuanya. Percayalah.”
“Dengan apa kau menebusnya? Mengembalikan waktu dan membatalkan rencanamu? Hahaha kau bukan Tuhan Gaf."
“Aku yang nanti akan menjadi suamimu. Dengan begitu tak ada yang perlu kau sesalkan. Aku berjanji. Ketika cita-citaku tercapai, aku akan menemuimu. Itulah mengapa kita terpisah jarak agar kita bisa sama-sama fokus pada cita-cita. Bisakah kau berjanji untuk menungguku?” tanyanya.
“Bisakah kau berjanji untuk menepati janjimu?” tanyaku kembali.
“Aku akan berusaha untuk menepatinya.” Jawabnya mantap.
“Baiklah, aku memaafkanmu. Tolong, jangan kecewakan aku.” Pintaku.
“Tidak akan sayang. Mari kita pulang, kau perlu beristirahat, besokkan mau berangkat.” Katanya sambil mengusap halus kepalaku.
Aku hanya mengangguk, mengikuti langkahnya, dan menaiki motor. Hari ini, begitu membahagiakan, tawa pertamaku, selepas kepergian Ahmad. Ahmad, aku bahagia disini, semoga kau juga bahagia disana. Aku tetap mencintai dan menyayangimu. Aku tersenyum, berharap dapat menemui Ahmad lagi didunia gila itu, menceritakan semuanya, berbagi bahagiaku dengan sahabat terbaikku. Tunggu aku, Mad.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
“Mandi yah, langsung tidur saja, biar kubantu besok beres-beresnya. Night,loveyou”
“Night to,Gaf.” Aku tersenyum, melambaikan tangan,menatap punggungnya yang perlahan makin menjauh.
Aku lalu mengetuk pintu rumah, sekali, belum ada jawaban, dua kali, belum juga ada jawaban. Mungkin nenek sudah tidur, pikirku. Terpaksa kududuk di depan pintu rumah, menyandarkan kepala menahan dinginnya tubuh, dan mencoba menunggu hingga pintu terbuka. Perlahan kantuk mulai menyapaku, memaksa mata untuk tertutup dan akhirnya terlelap.
Haii,maafyah baru nulis lagi,soalnya kegiatan kampus lagi padat-padatnya dan tugas kuliah lagi banyak-banyak๐๐๐
Post a Comment