CERBUNG "INARA" Part 13




Gelap, sekelilingku gelap, kutau ini adalah langkah awal menemui Ahmad, kucoba membiasakan diri, kucoba untuk terus menutup mataku hingga perlahan air membasahi wajahku. Kubuka mataku, dia sudah ada didepan sana, memaikan gitarnya dan kembali bersenandung mengikuti gaya om Iwan Fals.

Pernah kita sama-sama rasakan panasnya mentari hanguskan hati, sampai saat kita nyaris tak percaya bahwa roda nasib memang berputar, sahabat masih ingatkah kau?♫♫♫♫

“Hei, Ahmad.”

“Hei Rah, aku sudah tahu semuanya. Tanpa kau katakan aku sudah tahu, selamatyah.” Dia kembali memetik senar gitarnya, mendendangkan lirik tanpa judul karya Om Iwan Fals.

“Kau melihat semua yang yang terjadi? Di kincir angin, kau melihatnya juga?” tanyaku tergesa-gesa

“Hei, tidak usah terburu-buru begitu. Memangnya kenapa kalau aku melihatmu? Ada masalah?” tanyanya santai.

“Mad, itu bukan mauku.” Jawabku sedih

“Dia benar-benar mencintaimu. Kau jangan salahkan dia karena melakukan itu, benar yang dia katakan, dia hanya tak ingin kehilanganmu.”

“Ah tapi kenapa harus dengan menciumku?”

“Hahahhaa, kau akan tahu sendiri nanti. Kau tahu, kukira aku orang pertama yang akan mengecup bibirmu, nyatanya aku tak pernah berani untuk itu. Kau sahabatku, dan setinggi apapun nafsu yang menguasaiku ketika terjebak kebersamaan denganmu, aku tak pernah berani untuk itu, hahaha dia hebat.” Kali ini dia tertawa, memandang lurus kedepan. Entah apa yang sedang ditatapnya.

“Kau? Pernah berfikir seperti itu?kau fikir aku apa? Kau fikir aku perempuan seperti apa yang dengan bebasnya bisa kau apakan saja.” aku kembali menangis.

“Heii, bukan begitu maksudku,”

“Lalu apa?”

“Karena aku mencintaimu lebih dari sekedar sahabat. Status persahabatan mengubur semua mimpiku hingga kuputuskan mencintaimu dalam diam.”

“Tapi kenapa baru sekarang Mad? Setelah kau tak mungkin lagi kumiliki, kita ini berbeda. Tidakkah kau sadar akan itu?” kuseka air mata yang mulai membanjiri wajah.

“Justru karena kita telah berbeda aku mengatakannya. Kau sudah jadi milik Asgaf, aku hanya sahabat gaibmu, dan mungkin memang seharusnya hanya seperti itu.” Dia lalu tersenyum, mengusap air mataku. “Jangan menangis, Asgaf pasti akan memarahiku jika tahu aku membuatmu menangis.”

“Mana dia tahu kita masih bisa bertemu.” Jawabku.

“Mau kuajak Asgaf kesini?” tanyanya menantang.

“Jangan. Dunia ini hanya milik kita. Realm Insane hanya milik Inara dan Ahmad. Okeyy?” Ujarku sambil mengacungkan jari kelingking.

“Okeyy. Hati-hati diperjalanmu.Kau akan berangkat ke Sulawesi kan?”

“Iya, kau ikut?” tanyaku penasaran.

“Tentu saja. Kau ingin melihatku didunia nyata?” tantangnya.

Aku mulai berfikir, mungkin akan seru juga yah bisa melihat hal-hal gaib seperti itu.
“Memangnya bisa?” tanyaku lagi.

“Bisalah. Kau hanya harus menyiapkan mental yang kuat. Dan keberanian yang baik kalau tetap ingin bertahan hidup.”
Kunaikkan alisku, mencerna setiap ucapan yang terlontar dari bibirnya, menganalisa kalimatnya dan arh, terlalu berat untukku.

“Mad, tidak jadi ah.” Jawabku sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

“Kalau takdirmu seperti itu bagaimana?”

“Aku takut. Aku tidak mau. Sudahlah, aku tidak bisa. Kalau cuma melihat wajahmu yang pucat itu sih enggak ada masalah. Tapi kalau yang ancur gitu, ih ngeri.”

“Hahahaha kau tidak bisa menolak Rah. Mereka juga sama seperti manusia. Punya kehidupan, hanya saja mereka tak terlihat. Pada dasarnya mereka adalah korban, ada banyak kisah hidup mereka yang menurutku menarik. Kau temanku, dan aku ingin kau juga bisa berteman dengan mereka. Aku akan membantumu untuk terbiasa.”

“Mad, aku tidak mau, bisakah kau mengerti itu?”

“Sudah terlambat. Tenanglah,aku akan selalu disampingmu hingga mereka takkan menyakitimu. Percayalah padaku.”Dia kembali tersenyum walau lebam diwajahnya tak juga menghilang.
“Kau ini, arhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh” kutarik rambutnya, menggoyang-goyangnya dengan keras,sampai akhirnya terputus. “Mmmaaaffff, a..,kuuu tidak sengaja Mad.” Kataku.

“Hahha santai, ini bisa dipasang kembali kok. Lihat, nah sudah seperti semula.” Aku hanya memandangnya takjub. Hahhaha, mahluk halus, pikirku.

Perlahan, langit menjadi gelap, hitam dan semuanya tak terlihat. Kurasakan basah diwajahku, kubuka mataku, rupanya nenek yang memercikkan air, membangunkanku yang semalaman tertidur didepan pintu.

“Sejak kapan kamu tidur disitu?”

“Sejak, tadi malam Nek, aku ketok-ketok tidak ada yang buka. Makanya, aku tidur disini.”

“Kasihan cucu nenek, yah sudah. Mandi sana, lalu beres-beres pakaianmu. Nanti malam kita berangkat ke Makassar.”

Aku hanya mengangguk, lalu memasuki rumah. Berharap apa yang dikatakan Ahmad sama sekali tidak benar.

“Rah..” baru saja kubuka pintu kamarku, ketika namaku diserukan dengan begitu kerasnya. Kubalikkan badanku, betapa terkejutnya aku melihat Ahmad, dan teman-teman yang dibawanya. Astagfirullah.

“Ahmad, ini masih di Realm Insane?” tanyaku tak percaya.

“Aku sudah memberitahumu bukan? Ini nyata Rah.”

“Tapi.. tapi aku takut Mad, mereka? Arghh aku tidak bisaa.” Kututup wajahku dengan telapak tanganku sendiri.

“Kita bisa apa? Ini sudah takdirmu. Biasakan saja dirimu, aku membawa mereka supaya kau terbiasa. Aku percaya kamu bisa, mau bagaimana lagi?” tanyanya kebingungan.

“Aku tidak tahu. Aku pusing, kau gila Mad. Kau ingin aku mati lebih cepat?”

“Bukan seperti itu Rah..”

“Lalu apa?”

“Iya, kuakui ini salahku. Salahku menarikmu dalam duniaku yang jelas berbeda denganmu. Maafkan aku.”

“Pergi dari sini. Aku tak ingin melihatmu.” Ujarku marah.

“Tapi..”

Belum juga selesai ucapannya aku sudah berbicara. “Aku bilang pergi dari sini, aku sedang ingin berbenah. Kau taukan aku mau ke Makassar? Aku capek Mad.”
“Baik, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik. Duniamu saat ini berbeda dengan duniamu yang dulu, jadi terbiasalah.” Katanya, menyerah.

Aku tak memperdulikannya, kuambil koperku, memasukkan pakaian-pakaian dan barang-barang yang kuperlukan selama di Makassar. Kuambil pakaian dalam lemari, tiba-tiba selembar foto yang terselip dalam lipatan pakaian terjatuh bersama dengan miniatur perahu dan pesawat terbang. Kuambil foto tersebut, memandangnya dengan seksama.

Mengingat-ingat sosok didalamnya. Gigi ompongnya amat jelas terlihat, rambutnya yang agak ikal, dengan wajah tirus namun menggemaskan, bocah lelaki itu memakai baju berwarna biru tua dengan celana diatas lutut berwarna putih. Sedangkan si bocah perempuan begitu cantik dengan baju berwarna merah muda, dilengkapi rok mini berwarna senada. Rambutnya yang terurai, menambah kesan manis, pipinya yang tembem menambah kesan imut, hidung mungil, mata berbinar dihiasi alis tebal beraturan. 

Dia, bocah perempuan itu adalah diriku sendiri. Aku tersenyum, ada banyak cerita dibalik foto ini, 10 tahun yang lalu. Sewaktu ayah dan Ibu masih bersama, ketika perceraian belum merusak bahagiaku, ketika bahagia masih bersama kami. Ketika keluarga adalah kehangatan yang begitu erat kurasakan. Ayah dan ibu adalah sepasang manusia yang bagiku waktu itu sangat serasi, mereka selalu bersama dimanapun dan kapanpun. Kami rutin berakhir pekan dengan jalan-jalan bersama, berbelanja, berburu  kuliner yang banyak dipinggiran jalan. Dulu, keluargaku begitu bahagia. Namun, ketika usiaku menginjak 10 tahun, ayah dan ibu lebih banyak bertengkar. Memperdebatkan hal kecil, sesekali aku menangis ketika dengan kasarnya tangan ayah mendarat dipipi ibu. Aku menyaksikannya, menyaksikan semua proses perpisahan mereka yang terkesan tiba-tiba. Aku terpukul, shock, dan lebih banyak megurung diri, melampiaskan emosiku dalam rajutan kata, sesekali berteriak ketika kepalaku rasanya ingin pecah. Aku depresi, dan bocah itu, dia adalah orang pertama yang mengetuk jendelaku, menerbangkan pesawat kertas kedalam kamarku. Mengajakku bermain disawah belakang rumah. Dia, orang pertama yang menyembuhkan lukaku karena keretakan keluarga. Sejak saat itu aku merasa tidak sendiri, aku punya seseorang yang peduli, sesorang yang meyayangiku, seseorang yang siap menghapus air mataku ketika aku bercerita tentang ayah dan ibu yang sering bertengkar dihadapanku. Tapi, bocah itu hanya terdiam, bukan memberiku saran ataupun masukan. Dia malah menarik tanganku, mengambil tanah basah lalu mengoleskannya dipipiku. Aku tertegun, dia malah mengejek, aku lalu mengejarnya, mencoba membalas perbuatannya. Aku tidak terima. Rupanya bocah itu, mencoba menghibur dengan cara yang tak pernah kusangka. 
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Post a Comment