Dia, Malaikat dan Kesempurnaan Cinta


Langit Kota Maros mulai menghitam ketika sesosok gadis masih saja sibuk menyeka berlian dari balik pelupuk matanya. Gadis belia berusia kira-kira 17 tahunan. Gadis tersebut masih mematung tepat diberanda rumahnya sambil menatap kosong kedepan. Namun, air mata tak pernah berhenti mengalir dari balik pelupuk matanya yang indah. Gadis periang yang tiba-tiba saja menjelma menjadi sosok pendiam. Namanya Zena, gadis pemilik senyum yang manis, mata berbinar yang indah dihiasi bulu mata lentik dan alis tebal yang seolah-olah membuatnya begitu manis dipandang. Perpisahan dengan kekasih yang teramat dalam dicintainya mengantarkannya pada kehidupan lain, mengantarkannya pada kehancuran dan kegalauan hingga terkadang dia tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Ada rasa sakit yang seolah-olah menghantam dadanya berkali-kali, ada luka yang menganga lebar dalam hatinya yang sulit terobati, dan ada kekecewaan yang sulit terdefinisikan oleh aksara. Senyum manisnya tak lagi terlihat seminggu terakhir ini, wajahnya menjadi tirus karena begitu jarangnya mengunyah. Ibu Rima bingung menyaksikan putrinya yang sudah beberapa hari ini tampak berbeda. Hingga dia memberanikan diri menegur Zena yang masih saja diam ketika adzan magrib telah berkumandang.

“ Zena, kok masih disini? Enggak sholat?”

 “Ah? Kenapa Mah? Ya, sholatnya sebentar yah! Mama duluan saja, Zena lagi pengen sendiri.” Jawab Zena
dengan wajah datar dan mata yang masih bengkak.

“ Kalau Zena lagi ada masalah boleh cerita sama mama, kan kita sahabat. Ayo dong sayang, jangam buat mama khawatir.” Ujar Ibu Rima dengan nada sedih.

“ Mah, ah sudahlah mungkin memang Zena yang salah. Enggak dengerin apa yang mama bilang. Hahaha, bodoh memang! Zena baru rasain patah hati yang nyatanya sakit yah Mah! Zena pernah jatuh cinta Mah, pernah mencintai dengan begitu tulusnya hingga lupa kalau ternyata dia bisa pergi kapan saja, dia bisa menjelma menjadi apa saja hanya karena waktu dan rasa, ah sudahlah Mah, Zena mau sendiri.” Ujarnya, sambil berlalu meninggalkan mamanya yang masih saja memandangnya dengan begitu prihatin. Ibu Rima sudah lama mewanti-wanti masa itu, masa dimana Zena sudah berani melangkah tanpa persetujuan orangtuanya, dan yang seperti inilah yang di khawatirkan wanita paruh baya tersebut. Air mata tak dapat lagi terbendung, dia kembali teringat sosoknya dimasa lalu, dirinya yang sudah hampir mengakhiri hidup hanya karena cinta sesaat yang menenggelamkan kewarasan dan keimanan. Dan, wanita paruh baya ini tak ingin kejadian yang sama merenggut bahagia dari putri semata wayangnya. Ibu Rima lalu memutuskan untuk berinteraksi dengan Tuhan, mendoakan yang terbaik untuk Zena. Karena menjadi seorang single parents bukanlah hal yang mudah, karena mendidik ditengah kesibukan bekerja bukanlah hal yang mudah dan instan, Ibu Rima terlalu sibuk hingga terkadang lupa bahwa hidup bukan hanya untuk bekerja dan uang, hidup juga menyangkut ibadah dan Allah.
                                                                                <>
“Zena bangun sayang, inikan hari senin. Apa kamu tidak ingin berangkat kesekolah?” ujar Ibu Rima sambil mengetuk pintu kamar Zena. Sekali lagi dia mengulang kalimat yang sama, namun tak juga ada jawaban dari sang pemilik kamar.

“Zena, buka pintunya nak! Zena?Zena?” tampak mimik wajah Ibu Rima berubah menjadi was-was. Terlebih karena curhatan Zena kemarin tentang patah hatinya. Jangan sampai hal bodoh merasuki jiwanya, jangan sampai pemikirannya teracuni oleh cinta. Wanita paruh baya itu, berlari secepat mungkin, berusaha memanggil supirnya yang masih saja sibuk mencuci mobil dan bersenandung riang.

“Pak.. Pak, saya butuh bantuan.” Teriak Ibu Rima dari balik pintu rumahya.

“Ada apa Bu’?” ujar Pak Diding sambil berlari kearah sumber datangnya suara.

“Bisa dobrak pintu kamarnya Zena? Soalnya sudah dari tadi saya ketok-ketok tapi tidak juga dibuka. Saya takut terjadi sesuatu Pak. Cepatlah, saya takut, anak sayaaa..,” Jelasnya dengan tangis yang sudah tumpah ruah memenuhi lekuk-lekuk dari wajahnya yang mulai keriput. Segera mereka berdua berlari kearah kamar Zena. Pak Diding lalu mencoba sebisa mungkin membuka pintu tersebut. Dobrakan pertama, “ Prakkk...,” dobrakan keduaa “Dprakkkkkk” dan akhirnya didobrakan ketiga pintunya telah berhasil dibuka. Betapa terkejutnya mereka berdua menyaksikan sosok nyata dihadapanya. Gadis itu, pemilik mata berbinar dengan senyum yang manis, kini terkulai lemas diatas deretan ubin putih yang bernoda merah. Rambutnya yang indah terurai berantakan, wajahnya memucat layaknya mayat hidup, di pergelangan tangannya terlukis goresan bekas sayatan. Dan kekhawatiran Ibu Rima terjawab sudah.


“ Pak, anak saya.., anak saya..,” teriaknya sambil memeluk dan menatap putrinya yang sudah tak berdaya.

“Ayo kita bawa kerumah sakit Bu’. Neng Zena harus segera tertolong, sini saya yang yang mengangkatnya masuk kemobil, Ibu jangan khawatir Allah selalu punya cara untuk menolong, intinya kita mau berusaha dan ber’doa.” Tanpa berfikir panjang lagi cepat-cepat mereka berangkat kerumah sakit. Ada getar menakjubkan yang seketika mengusai jantung Ibu Rima, ada buih-buih ketakutan bermunculan diatara lautan-lautan argumen yang terus saja tercipta dalam benaknya. Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang salah dengan putrinya? Mengapa Allah memberi ujian seberat ini. Dia hanya memiliki  satu harta yang paling berharga, hanya memiliki satu berlian indah dalam hidupnya, hanya gadis itu pembangkit semangat ketika rasa ingin menyerah mulai menyergapnya. Dan kini berliannya hampir pecah, entah karena dia yang kurang berhati-hati ataukah berlian itu yang menjatuhkan dirinya dirinya sendiri. Entahlah! Hanya do’a yang dapat menyelamatkan dan hanya do’a yang dapat menyadarkan dan sekali lagi hanya do’a yang mampu melakukan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, KUNFAYAKUN!
                                                                                <>

“Dok, tolong cepat selamatkan anak saya, Dokter tolong dia anak perempuan saya satu-satunya, tolong jangan biarkan dia pergi, saya mencintainya lebih dari apapun, bahkan jika nyawa ini harus menjadi penyembuhnya. Saya siap Dok!”

“Maaf Bu’, bisa beri kami waktu untuk melakukan penanganan? Ibu lebih baik menunggu diluar dan berdoa saja semoga anak Ibu masih dapat terselamatkan.
30 menit berlalu ketika Zena memasuki ruang operasi, Air mata tak hentinya berjatuhan dari balik pelupuk mata Ibu Rima, apa yang dapat dilakukannya? Didalam sana malaikatnya sedang bertarung dengan maut, sedang berusaha mempertahankan hidup, sedang beradu dengan kematian dan sebagai Ibu, apa yang dapat dilakukannya? Air matanya kembali mengalir dengan deras, sederas hujan yang membasahi butta salewangang. Perempuan itu masih saja menatap ruangan dihadapannya berharap secepat mungkin sosok berseragam putih itu memberikan kabar baik, hingga getaran dijantungnya dapat kembali normal.

“Ibu, anak anda kekurangan banyak darah. Dan stok darah untuk AB sedang kosong.” Ujar suara yang
mengagetkan Ibu Rima dari lamunan.

“ Silahkan ambil darah saya Dok,golongan darah saya sama dengan putri saya, tolong cepat saya tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk.”

“Tapi, kondisi Ibu sangat tidak memungkinkan. Apakah Ibu yakin?”

“Saya tidak pernah seyakin ini, sejujurnya saya takut jarum suntik Dok, akan tetapi saya lebih takut jika harus kehilangan anak saya, dia masih butuh hidup untuk memperbaiki diri dan kehidupannya, dia masih butuh dunia untuk bekal akhiratnya, dia malaikat saya Dok, tolong jangan menghalangi, hanya ini yang dapat saya lakukan sebagai seorang Ibu.”

Dan tanpa berpikir panjang lagi, Dokterpun segera membawa Ibu Rima keruang transfusi darah. Ada ketakutan terlukis jelas diwajahnya ketika perlahan jarum mulai menusuk kulitnya, Ibu Rima menutup matanya, mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya tak semenyeramkan apa yang ada dipikirannya, lagipula ini demi Zena,gadisnya yang harus tetap bertahan hidup. Proses tranfusi darah berjalan dengan lancar, sesuai dengan apa yang diharapkan, detak jantung Zena sudah normal, semuanya sudah baik-baik saja. Meskipun Zena belum juga sadarkan diri. Namun, sayangnya ditempat lain ada yang pergi, yah pergi untuk selamanya, dia terlalu banyak menyumbangkan darahnya, hingga harus merenggang nyawa. Dia, perempuan paruh baya yang begitu menyayangi putrinya hingga tak menyadari bahwa yang dilakukannya dapat mengantarkannya pada peristiwa bernama kematian. Karena kerabat meminta untuk cepat-cepat melakukan penguburan, akhirnya jazad Ibu Rima dkuburkan tanpa menunggu Zena sadarkan diri. Sebuah pengobanan luar biasa dari sosok malaikat bernama “IBU”
                                                                               <>
3 hari telah berlalu setelah kematian Ibu Rima, semua khalayak berduka, keluarga, teman-teman dan para tetangga. Semuanya mengenal Ibu Rima sebagai sosok yang baik, bersahaja dan pekerja keras. Perempuan dengan kesabaran luar biasa dalam mengahadapi anak seliar Zena. Semuanya memaklumi jika keliaran tercipta karena peran ganda yang harus diemban oleh wanita karir seperti Ibu Rima, pergaulan Zena yang tergolong bebas, membuatnya terjerumus dalam kenakalan hingga hanya karena putus cinta dia menyayat nadinya dan membuat Ibunya harus berkorban, berkorban semuanya, bahkan nyawanya sekalipun dan gadis itu baru saja membuka matanya ketika yang dia dapati saat itu hanya Pak Diding.

“Pak saya dimana?” ujarnya kebingungan.

“Dimana mama? Mamaa? Mama?” teriaknya sembari mengubah posisinya menjadi duduk.
“Pak Diding, mama kemana yah? Ohiya, lagi kekantor yah?” tanyannya lagi.

“Pak, kok diam? Mama kemana? Semunya baik-baik sajakan? Pak jawab saya” desaknya dengan wajah yang begitu penasaran.

“Ini berat Non, Ibu sudah enggak ada lagi.”

“Maksudnya? Bapak jangan mainin saya dong, mama saya kemana? Jawab dengan baik dan jelas jangan membuat saya kebingungan.”

“Non, Ibu sudah meninggal karena kehabisan darah ketika menyumbangkan darahnya untuk Non. Ibu, sudah enggak ada lagi, 3 hari yang lalu jazadnya sudah dikuburkan.” Jawab Pak Diding sedih

“Apa? Mama? Mama saya! dia, dia, meninggal? karenaa menyumbangkan darahnya? Untukku? Pak antarkan saya segera, saya mau ketemu mama.”  Ujar Zena dengan air mata yang tumpah dan rasa bersalah yang mengkabut direlung hatinya yang terdalam.

“Tapi, Non baru sadar dan msih butuh istirahat. Nanti dokternya marah bagaimana?”

“Saya tidak peduli dengan Dokter, tidak peduli dengan apapun. Saya ingin bertemu Mama dan saya ingin..., arh Pak, Mama.” Air mata semakin deras membanjiri wajah manisnya, air mata kembali membuat mata berbinarnya membengkak, tanpa kata dan celoteh Pak Diding kemudian mengantarkan Zena kepemakaman Ibunya. Dalam perjalanan, Zena terus saja terbayang-bayang oleh wajah Ibunya, bagaimana senyumnya, bagaimana khawatirnya dan bagamana kesabarannya ketika Zena mulai tak peduli dengan apapun selain kesendirian. Zena sempat berfikir mengapa bukan dirinya saja yang berada dalam tanah, mengapa bukan dirinya saja yang pergi, Ibunya tak punya salah apa-apa, Ibunya adalah malaikat nyata yang selalu punya cara membuatnya bahagia, yang selalu ingin berkorban apapun demi dirinya meskipun harus mengorbangkan nyawa dan kehidupannya. Dan kini, rasa sesal menghamtam dadanya bertubi-tubi, hal apa yang dia pernah lakukan untuk membuat Ibunya bahagia? Hal apa yang dia pernah lakukan sehingga membuat malakaitnya meneteskan air mata bahagia? Air mata kembali menderas beradu dengan derasnya titik hujan yang disaksikannya dari balik jendela mobil.
“Non, diluar hujan. Tetap mau turun atau kita pulang saja?” tanya Pak Diding.

“Bapak tunggu saja disini, biar saya saja yang turun.” Jawab Zena sembari keluar dari pintu mobilnya dan berlari ketempat terakhir Ibunya. Dia tak peduli akan hujan yang seketika akan membasahi tubuhnya, dia sama sekali tak peduli akan dingin yang akan merasuk cepat dalam tulang-tulangnya, karena yang ada difikirannya saat ini hanya keinginan kuatnya untuk berjumpa Ibunya. Seketika sosoknya mematung, memandang nisan yang mulai basah oleh hujan, matanya tak berkedip walau hujan terus saja membasahi lekuk wajahnya, gadis itu duduk bersila memandang papan nisan bertuliskan Rima Sudinah. Dia berusaha memeluk malaikatnya dengan memejamkan mata, mencoba menemukan sosok Ibunya dalam fantasi dan imajinasi, seketika tangan hangat mulai menyentuh tubunnya yang kurus, seketika tangan hangat mulai menghapus noda tanah yang melekat diwajahnya, seketika tangan hangat mulai membawanya dalam rangkulan dan kehangatan, dia memberanikan diri membuka matanya, memberanikan diri menatap pemilik tangan hangat tersebut, dia mulai mengangkat wajahnya dan memandang wajah sesosok bertangan hangat tersebut. Rupanya, dia, dia lelaki berseragam serba putih yang menyembuhkannya dari koma.

“Sudah sayang, jangan menangis lagi. Jika kamu bersedih Ibumu juga akan terus bersedih. Dokter masih ingat kata-kata terakhir Ibumu ketika akan hendak menyumbangkan darahnya.Beliau berkata bahwa dia sangat takut akan jarum suntik, akan tetapi beliau lebih takut kehilanganmu, beliau tidak ingin kamu meninggalkan dunia dengan dosa, beliau ingin kamu tetap hidup dan jika Allah memberimu kesempatan untuk itu, beliau sangat berharap kamu mau membenahi diri dan mencoba menjadi lebih baik karen hidup bukan hanya untuk dunia, tetapi juga bekal untuk kehidupan kekal bernama akhirat. Dan jika kamu sayang Ibumu, maka lakukanlah wasiat terakhir dari Ibumu sayang. Kamu beruntung memilikinya, beruntung mempunyai malaikat sebaik Ibumu, yang bahkan merelakan kehidupannya, hanya untukmu, putri semata wayangnya yang begitu ingin disaksikannya bahagia.”

Zena lalu memeluk erat pemilik tangan hangat tersebut, mencoba mencerna apa yang disampaikannya, mencoba membuka mata dan hatinya akan kebaikan dan jalan Allah yang selama ini diajauh akan hal tersebut. Dia mulai menyeka air matanya, mencoba mengukir senyum dan bangkit dari keterpurukannya.
“Makasih Dok, makasih telah menyampikan ucapan terakhir mama saya, saya bangga kepada jazad dibawah sana, saya berjanji akan menjadi anak yang shaleha, yang akan terus menghadirkan mama dalam sujud dan doa, saya berjanji akan membuatnya tersenyum disurga sana. “Mama, Zena sayang mama dan akan berusaha menjadi apa yang mama mau, yang tenang tidurnya Mah..” Ujar Zena dengan senyum yang mulai terlukis dengan mata berbinar yang masih saja memandang gundukan tanah dihadapannya.

“ Yah sudah kita pulang yah, kamu masih butuh istirahat”

“Iya Dok.”

Mereka berdua meninggalkan pemakaman tersebut, Zena sudah dengan tekadnya untuk berhijrah, sudah memantapkan diri untuk belajar mencintai Tuhannya.
                                                                                <>
“Pak Diding, anak sama istrinya mana? Katanya mau tinggal di rumahnya Zena?”
“Ini mereka Non, yang ini istri saya namanya Sia, dan ini anak saya namanya Bila, dan ini yang paling kecil namanya Putra.” Ujar Pak Diding seraya memperkenalkan keluarganya.

“Oh, iya! Hai Bila, Putra, Ibu Sia, semoga betah yah tinggal dirumah Zena, jangan sungkan anggap rumah sendiri.”Ujar Zena dengan senyumnya yang manis. “Ohiya, saya sholat dulu yah semua, sekali lagi anggap rumah sendiri.” Tambahnya lagi.

Perubahan yang luar biasa dari seorang gadis bernama Zena. Kini, dia sibuk dengan organisasi agama disekolahnya, termasuk turut ambil bagian dari program sekolahnya yang memanfaatkan Al-Qur’am sebagai sahabat dalam keseharian, disamping itu dia juga aktif dalam organisasi kemanusiaan dikotanya, menggalang dana untuk mereka yang kurang mampu dan melupakan cinta sesaat yang dulu membuat hidupnya berantakan, membuat hidupnya hancur dan tanpa mengucap permisi, dengan lancangnya merenggut malaikatnya yang paling sempurna. Semua kenangan dimasa lalu, semua hal pernah menyentuh hidupnya dia jadikan sebagai pengalaman, sebagai pengalaman berharga dalam menatap kehidupannya yang masih panjang. Keluarga Pak Diding juga senantiasa menyelenggarakan sholat berjamaah, mengajak Zena untuk sholat dan tilawah bersama, juga rutin berkunjung kemakam Ibu Rima untuk sekedar mengirimkan do’a dan Al-fatihah. Zena merasa ada perubahan luar biasa dalam hidupnya, Zena merasa berada dalam jalur bahagia yang sessungguhnya, bahagia yang mengalahkan bahagianya ketika berkumpul dengn teman-temannya, mengalahkan bahagia ketika dia melakukan perjalanan bersama kekasihnya dan mengalahkan kebahagiaan ketika dia turut dalam fantasi dan kegilaan karena obat-obatan. Dia baru saja merasakan cinta yang begitu sempurna, dia baru menyadari cinta dari penciptanya adalah kesempurnaan dari kata dan rasa bernama cinta.

Dalam selingan alunan tilawahnya, dia merindukan sosok Ibunya yang telah menyuguhkan senyumnya di surga sana, dia merindukan hal sederhana yang selalu Ibunya lakukan, dia mengakhiri tilawahnya dan berjalan memasuki kamar Ibunya yang masih saja sama seperti dulu. Dia mencoba mendapati sosok wanita paruh baya tersebut dalam biliknya, mencoba mencari benda yang dapat membuat sedikit kerinduaanya terkikis. Langkahnya terhenti didepan meja rias dengan buku kecil berwarna merah muda diatasnya, buku yang entah berisi apa yang tampaknya begitu menarik, Zena mengambil buku tersebut kemudian membaca tiap kata yang terangkai.

Ada ketakutan yang selalu saja menghantui langkahku, ada ketakutan akan peran ganda yang kuemban, aku merasa gagal menjadi Ibu untuknya, aku merasa gagal karena belum bisa mendidiknya menjadi perempuan sholehah yang mencintai-Mu dengan kesempurnaan yah Allah. Aku merasa gagal menjadi seorang Ibu, yang bahkan tak mampu memahami dan menemani berlianku hingga membuatnya hampir berhamburan. Ini salahku Tuhan, salahku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga terkadang mengabaikan kewajibanku dalam membuatnya lebih baik. Jika diberi kesempatan, tolong yah Allah izinkan putri hamba merasakan cinta-Mu yang sempurna sehingga jika peranku telah usai, dia dapat menjalani hidupnya dalam bingkai kasih-Mu! Dan untukmu Anakku, Ibu menyayangimu, teramat dalam menyayangimu hingga berusaha memenuhi semua kebutuhanmu sampai terkadang lupa memperhatikanmu,maaafkan Ibu yang belum bisa membahagiakanmu dengan sempurna. Karena Ibu percaya sayangku, Allah selalu punya jalan untuk kebaikan, dan tapakan kaki menuju hijrah, adalah langkah menuju Jannah-Nya. Semoga Allah selalu melindungi, semoga Allah selalu merangkulmu dalam lingkaran Cinta-Nya, maafkan Ibu yang penuh kekurangan ini yang belum bisa menjadi Ibu terbaik untukmu!-Annakku, Zena-

Tetesan hangat mulai berhamburan keluar dari balik pelupuk mata binarnya,hatinya tersentuh, betapa mulianya hati perempuan tuanya, betapa Allah telah mengirimkannya malaikat tak bersayap yang mencintainya dengan begitu luar biasa. Ada kebanggaan tersirat dari balik senyumnya yang mengembang, ada keyakinan akan kemampuan untuk membahagiaan malaikatnya yang sudah dipanggil Tuhan terlebih dulu. Karena Zena percaya akan selalu ada tangan-tangan Tuhan yang membimbingnya dalam berhijrah, akan ada cinta Allah yang sempurna  untuk manusia-manusia yang berusaha menjadi lebih baik. Zena menutup buku berwarna merah muda tersebut, menyimpannya ditempat semula, kemudian meninggalkan bilik ibunnya sembari berjanji untuk hijrahnya yang bukan main-main.
                                                                           TAMAT

Post a Comment